RIAU24.COM - Setahun sudah pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berjalan. Di atas panggung politik, duet ini pernah digadang-gadang sebagai simbol regenerasi nasional: sosok senior berpengalaman di satu sisi, dan figur muda penuh energi di sisi lain.
Publik sempat berharap, kehadiran Gibran di kursi wakil presiden akan membawa nuansa baru, warna segar, dan gagasan progresif yang mampu menjembatani generasi lama dengan generasi masa depan.
Namun survei terbaru dari Indonesia Political Opinion (IPO) justru menunjukkan kenyataan yang berbanding terbalik.
Tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Prabowo mencapai 86 persen. Di sisi lain, Gibran hanya memperoleh sekitar 29 persen.
Sebuah kesenjangan yang mengundang banyak pertanyaan — bukan hanya soal kinerja, tetapi juga tentang keberadaan dan peran nyata sang wakil presiden.
“Ya, angka memang menunjukkan selisih yang sangat besar,” ujar Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah, dalam perbincangan bersama redaksi.
“Tetapi untuk bisa menilai ‘jomplang’, kita perlu melihat konteks: jika hanya satu pihak melakukan kerja nyata maka tidak bisa disebut kompetisi yang sejajar.”
Dedi menilai publik cenderung menilai berdasarkan apa yang mereka rasakan. Dalam politik, kehadiran tidak diukur dari jabatan, tetapi dari dampak yang ditimbulkan.
“Masyarakat mudah melihat program konkret yang berdampak langsung kepada mereka,” tuturnya.
“Ketika ada gagasan atau kebijakan yang terasa, maka puas atau tidak puas bisa muncul. Tetapi untuk wakil presiden, publik kesulitan memberikan nilai karena minim akses program yang dirasakan.”
Pandangan itu menggambarkan satu hal: publik belum benar-benar melihat Gibran sebagai figur yang bekerja di lapangan. Nama dan jabatan saja belum cukup membangun legitimasi.
“Publik tidak melihat secara nyata kiprah Gibran hingga detik ini,” kata Dedi menegaskan.
Bagi Dedi, permasalahan ini bukan hanya soal rendahnya tingkat kepuasan, tetapi juga menyentuh aspek yang lebih fundamental — yakni kepercayaan publik.
“Ada dua hal,” ujarnya, “kepuasan itu muncul ketika program terasa, sementara kepercayaan terbentuk lebih dulu, bahkan sebelum program berjalan. Untuk Gibran, kepercayaan itu sudah bermasalah sejak awal.”
Ia menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi, kepercayaan publik adalah modal sosial utama bagi pejabat publik. Tanpa itu, semua program dan kebijakan akan kehilangan daya dukung.
“Maka program apa pun yang dikeluarkan akan sulit memperoleh respon positif publik karena fondasi kepercayaannya belum terbentuk,” ujarnya lagi.
Fenomena ini, lanjut Dedi, berpotensi menjadi beban politik, bukan hanya bagi Gibran, tetapi juga bagi Presiden Prabowo.
“Secara politis ya, ini bisa jadi beban,” katanya. “Karena sistem pemerintahan demokrasi memerlukan kepercayaan publik supaya kebijakan mendapat dukungan. Jika wakil presiden tidak mendapat kepercayaan, maka walaupun presiden disenangi, tetap ada elemen yang mengecilkan efektivitas pemerintahan.”
Dedi kemudian menyinggung analogi klasik tentang posisi wakil presiden sebagai “ban serep”. Dalam konteks sejarah Indonesia, istilah itu sudah sering muncul, tetapi kini, katanya, maknanya semakin kabur.
“Ya, dalam sejarah, wakil-wakil presiden selama ini memiliki kapabilitas komplementer terhadap presiden,” jelasnya.
“Misalnya menanggulangi konflik, meredam situasi sosial, atau melakukan konsolidasi nasional. Tetapi kalau wakil hanya berada dalam struktur nomenklatur tanpa punya ruang gerak nyata, maka dia tetap jadi status saja, bukan aktor yang efektif.”
Ia menilai, sejauh ini Gibran masih tampak belum menemukan peran strategisnya.
“Secara struktur ya beliau wakil presiden,” ujarnya hati-hati. “Tapi dari sisi kewenangan dan gerak-gerik tampaknya teramputasi. Kalau dibandingkan dengan wakil presiden sebelumnya yang lebih aktif, Gibran belum memenuhi standar itu.”
Kondisi tersebut menciptakan dilema tersendiri. Di satu sisi, publik berharap generasi muda tampil membawa perubahan.
Di sisi lain, ketika representasi muda itu gagal membangun kepercayaan, maka efeknya bisa menjadi bumerang.
“Kekhawatiran besar: kalau wakil presiden dari generasi muda tampil namun kepercayaannya rendah, maka akan menjadi beban sejarah bagi regenerasi kepemimpinan,” ujar Dedi dengan nada serius. “Artinya ketika anak muda muncul, publik bisa saja berkata, ‘Ah, sama saja dengan yang kemarin’. Ini tantangan serius.”
Menurut Dedi, beban itu tidak hanya menimpa individu, tapi juga seluruh generasi muda yang berusaha membangun tempatnya dalam politik nasional.
Ia menyebut bahwa publik cenderung cepat memberi penilaian, dan citra yang terbangun dari satu figur bisa melekat pada kelompok yang lebih luas.
“Generasi muda kehilangan momentum jika tokoh yang diharapkan justru tak mampu menunjukkan kapasitasnya,” ujarnya.
Meski demikian, Dedi tak menutup ruang optimisme. Ia percaya, situasi ini masih bisa berubah, asal Gibran mau membangun kepercayaan publik dengan langkah-langkah yang konkret.
“Sederhana tapi sulit: figur wakil presiden harus membangun kepercayaan lebih dulu,” katanya tegas. “Bukan hanya lewat simbol atau gelar, tetapi lewat aksi yang berdampak, terlihat, dan dirasakan publik. Kalau ini tidak terjadi, maka posisi wakil presiden akan tetap jadi beban, bukan aset.”
(***)