Potret Ketimpangan Sosial di Jakarta, Warga Tanah Tinggi Harus Tidur 'Sif-sifan' karena Rumah Sempit

R24/dev
Potret Ketimpangan Sosial di Jakarta, Warga Tanah Tinggi Harus Tidur 'Sif-sifan' karena Rumah Sempit
Potret Ketimpangan Sosial di Jakarta, Warga Tanah Tinggi Harus Tidur 'Sif-sifan' karena Rumah Sempit

RIAU24.COM -  Di tengah upaya mendorong Jakarta menuju kota global, masalah ketimpangan sosial di permukiman padat penduduk masih menghantui ibu kota.

Sejumlah warga di Kelurahan Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, bahkan harus tidur secara 'sif-sifan' atau bergantian dengan keluarganya.

Hal itu dilakukan, mengingat kondisi rumah yang sempit dengan ukuran sekitar 3x4 meter yang dibagi menjadi beberapa ruangan. Kafiah, 63 tahun, warga RW 12 Tanah Tinggi, salah satu dari 850 KK atau sekitar 2.500 jiwa di kawasan tersebut.

"Kalau shift-shift kan saya kan rumahnya ada beberapa kamar nah campur tuh sama Mpok saya tapi namanya orangnya banyak nah jadi gitu saya tidur nanti gantian," ucap Kafiah, Minggu, 12 Oktober 2025.

Kondisi rumah Kafiah dengan dua lantai yang dihuni oleh sekitar 12 orang itu, mempunyai 3 ruangan dengan ukuran salah satu ruangannya 1x2.

Bahkan di rumahnya, tidak ada ruang tamu dan kondisinya hanya mampu dilewati satu orang dewasa akibat barang-barang menumpuk dan sempit.

"Rumah saya itu ada dua lantai nah kalau yang di bawah itu buat Mpok saya sama anaknya. nah itu ditinggal di situ ada 12 orang ada anak saya gitu ada cucu juga," ujar Kafiah.

Untuk lantai satunya, ada 3 ruangan dengan 2 kamar dan satu kamar mandi. Satu ruangan dengan ukuran sekitar 1x2, terdapat berbagai macam barang seperti panci, ember, lemari dan terdapat mungkin sekitar satu orang yang bisa tidur di ruangan itu karena menumpuknya barang-barang.

Di ruangan lainnya atau di samping ruangan itu sekitar 2x3 dengan kapasitas sekitar hanya untuk dua orang untuk tidur. untuk barang-barangnya terdapat satu kulkas, rak sepatu, dan satu kipas kecil yang menempel di dinding.

Tak hanya itu, ketika naik ke lantai dua dengan tangga yang terbuat dari kayu hampir reyot itu.

Terdapat satu kamar dengan ukuran 1x2 yang sudah ditumpuki berbagai macam pakaian, galon kosong bahkan bak mandi. Tidak ada ruang nyaman untuk tidur bagi keluarga tersebut.

Kafiah mengaku, telah tinggal di rumahnya itu dan menjalani keseharian tidur secara bergantian dengan keluarganya, selama 6 dekade atau sudah 5 generasi.

"Saya tinggal di situ udah lama sih Saya dari bayi di situ saya udah 60 tahun sekarang sampai emak-bapak saya juga udah meninggal, jadi saya tinggal di situ," kata Kafiah.

Dia menyebut, untuk siang hari biasanya jadwal tidur untuk kakaknya dan anak-anaknya. Ketika malam tiba, jadwal tidur bagi anak dan cucunya.

"Karena yang lain kan pada ngamen, kalau siang yang lain. Nah, kalau malam mereka (anak dan cucu) udah pada pulang," ujarnya.

Dikatakan Kafiah saat tidur malam hari, dirinya harus berhimpitan bersama keluarganya di ruangan kecil tersebut.

"Kita juga tidur desak-desakan himpit-himpitan, kalau ada kipas mah mending," ungkapnya.

Lebih lanjut, Kafiah yang kesehariannya berdagang sebagai penjual seblak pada siang hingga sore hari itu, mengaku hanya dapat penghasilan Rp60 ribu per hari.

"Paling banyak juga Rp100 ribu, kalau misalnya anak-anak atau cucu pada ngamen kan misalnya nih lumayan bisa beli beras patungan buat masak. tapi kalau mereka ngamen sepi yah yaudah," ujarnya.

Kafiah hanya bisa berharap, Pemerintah Jakarta dapat melakukan renovasi rumahnya yang ditinggali oleh 12 orang tersebut.

"Ya harapan saya sih bagi pemerintah supaya inilah ada peda bongkar gitu apa dirapihkan lagi tuh direnovasi, supaya kagak roboh aja. kan juga pintu saya udah rusak udah nggak inilah maksudnya udah sempit banget nggak bisa ngapa-ngapain," ucap dia. 

Sementara itu, Ketua RW 12 Tanah Tinggi, Imron Buchori menyampaikan, terdapat 11 RT dengan 850 KK atau sekitar 2.500 jiwa.

"Kalau kita bicara masalah struktur ekonomi maupun struktural bangunan, ya ini, jadi ini menurut saya ini, yang agak sedikit semrawut," ucap Imron.

Imron mengaku bahwa tidur shift-shift an di wilayahnya itu bukan hal baru. hal ini sudah berlangsung jauh sebelum ia menjabat sebagai RW.

“Ukuran rumah cuma 3x4 meter, tapi dihuni sampai 3 atau 4 keluarga. Jadi ya, mau tidak mau tidur bergantian. Ada yang tidur malam, ada yang siang. Sudah jadi konsekuensi,” kata Imron.

Bahkan, Imron mempersilahkan warganya untuk memanfaatkan Balai Sekretariat RW 12 sebagai tempat tidur warganya.

"Saya sih menyilahkan aja ini (Balai RW) kan fasos-fasum. Cuma dengan catatan saya selalu ngasih tau jangan dibuat kriminal, jangan narkoba dan Jaga kebersihan," ujarnya.

Ketika malam tiba, Imron mengakui, sudah banyak warga yang tidur di Balai RW tersebut.

"Malam hari itu disini berarti udah rame banget. Ya kebetulan kita ada fasilitas. Tujuan saya bagus daripada nanti dia berkeliaran, tawuran mending kita kumpulkan disini supaya bisa dikontrol," ungkap dia.

Imron mengatakan, dari 830 KK sekitar 30 persen warganya yang masih melakukan tidur secara shift-shift an.

"Misalnya dari 830 persennya. Ya, sekitar 30 persennya lah. Makanya secara struktural, itu yang terjadi," kata dia.

Di Balai RW, dikatakan Imron, turut dilengkapi berbagai fasilitas mulai dari kamar mandi hingga ruangan cukup besar bagi warganya tersebut.

"Nah saya sebagai ketua RW, inilah tempat fasilitas, fasilitas fasos-fasumnya RW 12. Ini sudah dibangun dari Sudin Perumahan. Termasuk WC-nya di belakang," katanya.

Selain itu, kondisi ekonomi menjadi akar dari banyak persoalan sosial di RW 12. Menurut Imron, mayoritas warga bekerja di sektor informal.

“Ada yang pemulung, pengamen, pedagang kecil. PNS mungkin cuma tiga persen,” ujar dia.

Lebih lanjut, beberapa tahun lalu, wilayahnya itu sempat mendapat perhatian dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan lembaga sosial Buddha Tzu Chi melalui program Konsolidasi Tanah Vertikal, dikenal warga sebagai “Rumah KTP”. Program ini merupakan upaya menata ulang kawasan padat agar menjadi hunian vertikal yang lebih layak.

“Dulu waktu Pak Wali datang, saya ajak ke belakang. ‘Pak, ini sumpah, sudah gak layak’. Dari situ, mulai ada perhatian. Lalu datang Buddha Tzu Chi sebagai penyelenggara,” kata Imron.

Tahap awal program berhasil membangun 12 unit rumah layak huni, dan disusul dengan 28 rumah yang direnovasi.

Namun, saat tawaran pembangunan tahap kedua muncul, sebagian besar warga menolak. “Banyak yang gak mau pindah. Sudah betah di rumah masing-masing, walau sempit. Apalagi syaratnya harus lahan luas dan dibangun vertikal. Akhirnya tidak jadi,” ujar dia. ***

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak