RIAU24.COM -Isu keabsahan ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi pembicaraan publik. Polemik ini mencuat setelah dibahas dalam program Head to Head CNN TV with Elvira pada Rabu (17/9/2025).
Dalam dialog bertema “Dari Jokowi ke Gibran, Kontroversi Ijazah Terus Jadi Sorotan”, advokat Ahmad Khozinudin menilai kasus ijazah Gibran mengingatkan pada isu serupa yang pernah dialami Presiden Joko Widodo.
Khozinudin menyebut, gugatan hukum yang diajukan Subhan Palal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait ijazah Gibran bisa berdampak serius. Ia merujuk Pasal 169 huruf R Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden minimal lulusan sekolah menengah atas atau sederajat.
“Jika ijazah bermasalah, itu dapat dianggap tidak memenuhi syarat sebagai wakil presiden, dan berpotensi mengarah pada pemakzulan,” ujar Khozinudin.
Menurutnya, mekanisme pemakzulan dapat dilakukan secara terpisah antara presiden dan wakil presiden. Ia menilai, pengunduran diri Gibran juga bisa menjadi opsi apabila desakan publik terus menguat.
Perdebatan yang berlangsung dalam acara tersebut juga menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Norman Hadinegoro, Rivai Kusumanegara, KRMT Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, David Pajung, serta Subhan yang bergabung secara daring.
Ahli forensik digital, Rismon Hasiholan Sianipar, bahkan menyerukan pemakzulan Gibran. Melalui akun media sosial pribadinya, ia menuliskan sindiran terkait ijazah Gibran.
Desakan pemakzulan terhadap Gibran sejatinya bukan hal baru. Beberapa waktu lalu, Forum Purnawirawan TNI juga sempat menyampaikan kritik terkait proses pencalonan Gibran pada Pilpres 2024.
Meski demikian, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai wacana pemakzulan tersebut belum memiliki dasar hukum yang memadai.
“Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap proses pemakzulan harus berjalan sesuai konstitusi. Dorongan politik semata tidak dapat dijadikan dasar,” kata Yance.
Ia menambahkan, argumen hukum dalam polemik ijazah Gibran belum cukup kuat untuk membuktikan adanya pelanggaran konstitusional. Menurutnya, isu ini lebih banyak berkembang dalam ruang politik dan media dibandingkan proses hukum formal.
(***)