Pembunuhan Charlie Kirk Teman Dekat Trump Dituduhkan pada Ideologi Woke, Apa Itu?

R24/tya
Aktivis sayap kanan Charlie Kirk /net
Aktivis sayap kanan Charlie Kirk /net

RIAU24.COM - Pembunuhan aktivis sayap kanan Charlie Kirk yang mengejutkan di siang bolong dituding oleh beberapa pemimpin dan komentator daring sebagai akibat ideologi 'woke' yang ekstrem.

Dengan atau tanpa menggunakan istilah woke atau wokisme, Presiden AS Donald Trump mengkritik 'kiri radikal'.

Apa itu woke dan apa itu wokisme? Akankah pembunuhan Kirk menjadi peringatan bahwa, jika dibawa ke ekstrem dan di tangan yang salah, bahkan ide-ide progresif yang terkait dengan budaya woke dapat menjadi merusak — atau mematikan? Akankah wokisme mereda, mengingat reaksi keras yang semakin meningkat?

Inilah yang perlu Anda ketahui.

Sejarah ‘Woke’ dan ‘Wokisme’

Istilah woke berakar dari Bahasa Inggris Vernakular Afrika-Amerika, yang awalnya berarti waspada terhadap ketidakadilan rasial.

Muncul di awal abad ke-20, gerakan ini membawa rasa kewaspadaan terhadap penindasan sistemik.

Pada tahun 2010-an, istilah 'woke' memasuki penggunaan umum, didorong oleh kebangkitan media sosial dan gerakan Black Lives Matter, yang dimulai pada tahun 2013 setelah pembebasan George Zimmerman atas pembunuhan remaja kulit hitam Trayvon Martin.

Awalnya, woke merupakan seruan untuk menyadarkan masyarakat tentang rasisme sistemik dan ketimpangan sosial, khususnya di Amerika Serikat.

Media sosial mempopulerkan istilah 'woke'

Pada pertengahan 2010-an, makna istilah ini meluas secara signifikan.

Istilah ini mencakup berbagai macam isu progresif di luar ras, termasuk namun tidak terbatas pada kesetaraan gender, hak-hak LGBTQ+, lingkungan hidup, dan keadilan ekonomi.

Popularitas istilah woke dan wokisme didorong oleh platform media sosial seperti Twitter (kemudian X) dan Instagram, di mana aktivisme menjadi sangat terlihat.

Wokisme menjadi istilah yang merendahkan untuk menggambarkan ideologi dan aktivisme kiri-tengah

Kritik serupa muncul terkait aktivisme woke, yang menuduh aktivisme tersebut seringkali bersifat performatif — lebih mengutamakan penampilan daripada perubahan substantif.

Istilah ini menjadi singkatan budaya untuk kesadaran progresif, tetapi juga menjadi pemicu reaksi keras, karena dikaitkan dengan kebenaran politik dan dianggap terlalu sensitif.

Pada akhir 2010-an dan awal 2020-an, wokisme sering digunakan secara peyoratif — untuk menggambarkan kepatuhan yang berlebihan atau dogmatis terhadap ideologi woke.

Wokisme dikaitkan dengan apa yang disebut 'cancel culture', yang melibatkan penghinaan publik atau pemboikotan individu atau entitas yang dianggap kurang progresif.

Istilah ini sering digunakan untuk mengkritik mereka yang terlibat dalam politik identitas, termasuk isu-isu ras dan gender.

Wokisme di institusi yang menjadi sasaran kritik sayap kanan

Seringkali, wokisme disalahkan atas apa yang para kritikus lihat sebagai 'pelanggaran kewenangan institusional' — persepsi integrasi cita-cita progresif ke dalam dunia akademis, media, dan korporasi, yang terkadang dipandang sebagai pengekangan kebebasan berbicara atau melemahkan meritokrasi.

Wokisme kini lebih terkenal karena reaksi keras yang dihadapinya daripada karena tokoh tertentu yang terkait dengannya.

Para kritikus memandang wokisme sebagai pemicu perpecahan sosial, intoleransi terhadap perbedaan pendapat, dan budaya pamer kebaikan — di mana perusahaan atau individu mengadopsi sikap progresif terutama demi persetujuan publik, alih-alih komitmen yang tulus.

Akankah kita menyaksikan akhir dari wokisme, atau akankah ia bangkit kembali?

Gerakan sosial cenderung mengikuti siklus — sering kali mati atau berevolusi menjadi bentuk-bentuk baru.

Wokisme, dalam bentuknya saat ini, mungkin sedang menurun karena kelelahan budaya dan reaksi balik.

Masyarakat semakin kritis terhadap elemen-elemen wokisme yang lebih ekstrem, seperti pengawasan bahasa (misalnya, debat he/she/they/them tentang identifikasi diri gender) atau anggapan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut sedang dimanja.

Sebuah survei oleh Pew Research menunjukkan penurunan dukungan di kalangan moderat dan independen terhadap sikap-sikap progresif tertentu yang dianggap memecah belah.

Suara-suara anti-woke dan pasca-woke semakin menguat, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Kritikus ini mencakup kaum konservatif maupun progresif.

Seperti halnya kemunduran budaya tandingan tahun 1960-an, wokisme mungkin juga memudar, tetapi penyebab yang mendasarinya — hak-hak sipil, kesetaraan gender, dan lingkungan hidup — akan terus membentuk aktivisme dan kebijakan di masa depan.

Demikian pula, wokisme dapat terpecah atau berganti bentuk menjadi bentuk yang lebih pragmatis dan kurang kaku secara ideologis.

Alih-alih akhir yang total atau kebangkitan dramatis, yang lebih mungkin terjadi adalah kalibrasi ulang.

Istilah wokisme sendiri mungkin akan kehilangan relevansinya seiring para kritikus dan pendukung beralih ke ranah baru, tetapi perjuangan yang lebih luas untuk keadilan dan kesetaraan sosial akan terus berlanjut.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak