RIAU24.COM -Israel mempercepat upaya untuk menguasai Kota Gaza bulan ini, meski dikecam keras oleh dunia internasional. Mereka mulai memobilisasi puluhan ribu tentara cadangan dan berencana mengusir 1 juta warga Palestina dari rumah mereka.
Protes global membesar akibat perang menewaskan banyak warga sipil Palestina dan baru-baru ini badan PBB di wilayah tersebut mendeklarasikan bencana kelaparan. Penolakan juga semakin meningkat di Israel, di mana tekanan pada militer memperparah kekhawatiran bahwa pasukan, serta para sandera, akan terancam.
Menurut pejabat Israel yang meminta anonimitas karena membahas strategi militer, tentara sudah beroperasi di pinggiran Kota Gaza, tetapi mereka akan menyerbu pusat kota pada pertengahan September.
Kabinet Keamanan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu menyetujui rencana tersebut hampir sebulan lalu. Padahal survei menunjukkan warga Israel beda pendapat mengenai cara mengakhiri pertempuran, di mana Hamas tetap ada jika itu berarti memulangkan 48 sandera yang tersisa, 20 di antaranya diyakini masih hidup.
Pemerintah Netanyahu mengatakan harus terus maju hingga kelompok tersebut kehilangan semua kekuasaan dan senjatanya. Israel "bergerak menuju kemenangan total," katanya dalam pernyataan video pada Selasa malam, seraya menambahkan, "apa yang dimulai di Gaza harus berakhir di Gaza."
AS menjadi satu-satunya di antara kekuatan dunia yang mendukung strategi Israel. Namun, pekan ini Presiden AS Donald Trump memperingatkan Israel "tidak memenangkan hati dunia dalam hal hubungan masyarakat."
"Mereka harus mengakhiri perang ini," katanya kepada Daily Caller.
Kesenjangan Kemanusiaan
Hamas yang didukung Iran, yang menurut Israel memiliki sekitar 20.000 pejuang di Kota Gaza dan di kota-kota pusat, belum menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Bulan lalu, mereka menerima proposal gencatan senjata dan membebaskan sekitar setengah sandera yang masih hidup sebagai langkah pertama.
Namun, Israel sejak itu mengatakan hanya akan menerima kesepakatan yang akan segera membebaskan semua sandera—baik yang hidup maupun yang mati.
Saat Israel memerintahkan serangan pada Mei 2024 ke Rafah—kota di selatan yang setara dengan Kota Gaza—satu juta warga sipil terpaksa mengungsi dalam waktu tiga pekan.
Menurut militer Israel, eksodus dari Kota Gaza sejauh ini dibatasi hingga sekitar 70.000 orang, dan Hamas mencegah orang-orang meninggalkan daerah itu.
Kepada wartawan pada Rabu, pejabat tinggi militer yang fokus pada kebutuhan sipil mengatakan zona kemanusiaan, tempat penduduk Kota Gaza diharapkan akan pindah, sedang dibangun dengan cepat di sekitar Rafah.
Ia mengatakan 100.000 tenda akan ditempatkan di sana dalam dua pekan ke depan, rumah sakit lapangan diperluas, dan pasokan air ditingkatkan.
Ada kesenjangan besar antara cara otoritas Israel menggambarkan situasi kemanusiaan di Gaza dan cara dunia internasional memandangnya. Lembaga pemantau yang didukung PBB bulan lalu menyatakan adanya kelaparan di sebagian wilayah tersebut, yang berulang kali dibantah Israel.
Yayasan Kemanusiaan Gaza, jaringan bantuan yang didukung Israel dan AS yang dikritik PBB karena sangat tidak memadai, bertambah dari tiga menjadi lima pos, jauh dari rencana AS untuk mengoperasikan total 16 pos dalam dua bulan.
Di Israel, perang menghadapi perlawanan baru. Untuk kali pertama, sekelompok tentara cadangan yang menamakan diri "Tentara Demi Para Sandera" menyatakan anggotanya menolak perintah wajib militer. Kelompok ini belum merespons pertanyaan: berapa banyak orang yang diwakilinya.
Ketika ditanya berapa banyak tentara cadangan yang datang untuk mobilisasi di Kota Gaza, juru bicara militer mengatakan jumlahnya cukup.
Dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, 1.200 orang di Israel tewas dan 250 orang diculik. Dalam serangan balasan Israel di Gaza, lebih dari 63.000 warga Palestina tewas, berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas.
(***)