Studi: Dewasa Muda Lebih Tidak Bahagia Daripada Generasi Paruh Baya

R24/tya
Gambar representatif /pexels
Gambar representatif /pexels

RIAU24.COM - Selama beberapa dekade, para peneliti mendokumentasikan apa yang kemudian dikenal sebagai ‘punuk ketidakbahagiaan paruh baya’.

Orang-orang cenderung memulai masa dewasa muda dengan suasana hati yang relatif positif, tenggelam dalam keputusasaan di usia sekitar 50 tahun, dan kemudian kembali bahagia menjelang masa pensiun.

Namun, sebuah studi global baru menunjukkan bahwa pola tersebut telah terbalik, berkat Gen Z.

Penelitian yang mencakup 44 negara, termasuk AS dan Inggris, menemukan bahwa generasi muda dewasa saat ini berusia sekitar 12 hingga 28 tahun melaporkan tingkat keputusasaan dan kecemasan yang belum pernah terjadi sebelumnya dibandingkan dengan generasi sebelumnya pada usia yang sama.

Alih-alih mengalami masa-masa sulit di usia paruh baya, Gen Z menghadapi apa yang disebut para peneliti sebagai ‘lereng ski’, di mana penderitaan dimulai dengan berat di masa muda dan berangsur-angsur mereda seiring bertambahnya usia.

“Hal ini sepenuhnya didorong oleh meningkatnya kesehatan mental yang buruk di kalangan anak muda,” kata rekan penulis studi Alex Bryson.

Data pendukung menggarisbawahi tren ini. CDC melaporkan bahwa kesehatan mental yang buruk di kalangan pria muda meningkat dari 2,5% pada tahun 1993 menjadi 6,6% pada tahun 2024.

Di kalangan wanita muda, angkanya melonjak dari 3,2% menjadi 9,3% selama periode yang sama.

Survei Gallup tahun 2023 menunjukkan hanya 15% Gen Z yang menggambarkan kesehatan mental mereka sangat baik, penurunan tajam dari satu dekade sebelumnya, ketika 52% Milenial pada usia yang sama mengatakan hal yang sama.

Para peneliti menunjukkan beberapa tekanan yang unik bagi Gen Z yaitu, menjadi generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya di era media sosial, kehilangan masa-masa pembentukan diri akibat karantina wilayah akibat pandemi, dan memiliki utang pribadi yang lebih tinggi.

Namun, ponsel pintar tetap menjadi penyebab utama.

"Ada semakin banyak bukti yang menunjukkan tidak hanya korelasi antara penggunaan layar dan kesehatan mental yang buruk, tetapi juga beberapa dampak kausal," tambah Bryson.

Rekan penulis David G. Blanchflower menyebut tren ini sebagai ‘krisis global, dan mendesak langkah-langkah seperti melarang ponsel di sekolah dan mempromosikan interaksi sosial tatap muka.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak