Dirut Agrinas Mundur, Rocky Gerung Peringatkan Prabowo Ada yang 'Tak Beres' Ditubuh BUMN dan Danantara

R24/zura
Dirut Agrinas Mundur, Rocky Gerung Peringatkan Prabowo Ada yang 'Tak Beres' Ditubuh BUMN dan Danantara. (Screenshot/@OfficialiNews)
Dirut Agrinas Mundur, Rocky Gerung Peringatkan Prabowo Ada yang 'Tak Beres' Ditubuh BUMN dan Danantara. (Screenshot/@OfficialiNews)

RIAU24.COM Sebuah keputusan yang jarang terjadi di lingkungan BUMN mengundang perhatian publik pekan ini. Direktur Utama PT Agrinas Pangan, perusahaan negara yang bergerak di sektor pangan strategis, menyatakan mengundurkan diri hanya enam bulan setelah dilantik. Alasannya lugas: tidak mendapat dukungan pendanaan dari holding BUMN, Danantara, yang menjadi induk perusahaan tersebut.

Langkah ini berbeda dari pola umum pejabat BUMN yang cenderung bertahan dalam jabatan, meski kinerja dipertanyakan. Bagi sebagian kalangan, ini menjadi bukti adanya integritas pribadi. Bagi yang lain, ini sinyal keras tentang masalah tata kelola di tubuh BUMN.

Awal Mula dan Misi Agrinas

Agrinas dibentuk sebagai ujung tombak program ketahanan pangan nasional. Di atas kertas, tugasnya sederhana namun krusial: mempercepat penyediaan pangan bagi rakyat, mengangkat kesejahteraan petani, dan mengurangi ketergantungan impor.

Perusahaan ini berada di bawah Danantara, superholding BUMN yang mengumpulkan dividen dari berbagai perusahaan negara untuk diinvestasikan ke sektor-sektor strategis. Dengan konsep ini, pemerintah berharap sumber daya BUMN bisa dikelola secara terpusat, efisien, dan berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.

Namun, visi itu tampaknya menemui batu sandungan besar. Selama enam bulan menjabat, Direktur Utama Agrinas mengaku tidak memperoleh modal kerja yang dijanjikan. Tanpa dana, program yang sudah dirancang gagal berjalan. Target peningkatan kesejahteraan petani pun tak terwujud.

Kritik Rocky Gerung: Integritas dan Alarm Sistem

Pengamat politik Rocky Gerung menilai keputusan mundur tersebut patut dihargai.

“Di Indonesia, tidak ada kamus mengundurkan diri. Banyak yang memilih bertahan demi status atau keuntungan. Jadi ini langkah yang mengejutkan sekaligus patut diapresiasi,” ujarnya.

Namun, Rocky menegaskan bahwa peristiwa ini juga merupakan alarm sistem bagi pemerintah.

“Ini bukti bahwa ada yang tidak beres di manajemen BUMN, khususnya di Danantara. Masalahnya bukan cuma dana, tapi juga prioritas, birokrasi, dan arah kebijakan yang kabur,” katanya.

Danantara: Ambisi Superholding, Realita Birokrasi

Danantara dibentuk dengan inspirasi dari gagasan ekonom Prof. Sumitro Djojohadikusumo—ayah Presiden Prabowo—yang pada era Orde Baru bermimpi membangun lembaga investasi negara sebagai pilar kesejahteraan rakyat.

Konsep superholding ini digadang-gadang mampu mengelola ratusan triliun rupiah modal, memfasilitasi investasi besar-besaran, dan memacu pembangunan di berbagai sektor. Namun, sejak awal, kritik mengemuka.

Banyak pengamat mempertanyakan apakah Danantara mampu beroperasi layaknya perusahaan investasi profesional, atau justru terjebak dalam lingkaran birokrasi, politik jabatan, dan potensi benturan kepentingan. Penempatan komisaris dan direksi yang dianggap sebagai “titipan” politik semakin memperkuat keraguan publik.

Rocky menilai, masalah utama Danantara terletak pada implementasi, bukan ide.

“BUMN itu seharusnya fokus pada kesejahteraan rakyat, bukan mengambil untung dari rakyat. Kalau modal saja tidak turun selama setengah tahun, jelas ada masalah tata kelola. Ini bukan sekadar salah kelola, tapi indikasi ada tarik-menarik kepentingan,” tegasnya.

Paradoks Kebijakan dan Dampak Ekonomi

Kasus Agrinas menggambarkan paradoks dalam kebijakan BUMN saat ini. Di satu sisi, Presiden Prabowo ingin mempercepat penyediaan pangan sebagai bagian dari visi ketahanan nasional. Di sisi lain, holding yang bertugas mengelola dan menyalurkan modal justru gagal memberikan dukungan dasar.

Kondisi ini tidak hanya menghambat program pangan, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan investor, baik domestik maupun asing. Dalam ekonomi yang semakin terintegrasi, reputasi sebuah holding raksasa seperti Danantara akan memengaruhi persepsi terhadap seluruh ekosistem BUMN.

“Kalau superholding ini jadi ajang bancakan politik, bukan hanya visi ketahanan pangan yang gagal, tapi juga kepercayaan publik dan investor akan runtuh,” ujar Rocky.

Ujian Kepemimpinan Presiden

Pengunduran diri Dirut Agrinas menjadi ujian awal bagi Presiden Prabowo. Publik menanti apakah pemerintah akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Danantara atau justru meredam isu ini tanpa perubahan berarti.

Rocky menekankan pentingnya langkah konkret.

“Kalau masalah ini dibiarkan, mimpi besar menghasilkan kemakmuran rakyat hanya akan menjadi slogan politik. Kasus Agrinas adalah alarm bagi Presiden untuk meninjau kembali struktur dan manajemen Danantara,” katanya.

Menyingkap Masalah Struktural

Para analis menilai, kasus ini mengungkap masalah struktural yang lebih luas di BUMN:

  • Inefisiensi Birokrasi — Proses persetujuan dana yang berlarut-larut menghambat operasional.
  • Politik Jabatan — Penempatan posisi strategis berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi.
  • Prioritas yang Kabur — Fokus bisnis sering beralih ke sektor yang lebih menguntungkan secara cepat, mengabaikan mandat sosial.

Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan risiko kegagalan program strategis, seperti ketahanan pangan.

Menunggu Reformasi Nyata

Seperti banyak kasus sebelumnya, publik berharap momentum ini dimanfaatkan untuk melakukan reformasi tata kelola BUMN secara serius. Jika tidak, model superholding hanya akan menjadi struktur besar yang lamban, sarat kepentingan, dan jauh dari cita-cita kesejahteraan rakyat.

Rocky mengingatkan, sejarah akan menilai keberhasilan atau kegagalan visi besar ini.

“Kalau manajemennya tidak diperbaiki, visi sebesar apa pun akan kandas di tengah jalan,” pungkasnya.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak