RIAU24.COM - Kabinet keamanan Israel menyetujui rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengambil alih Gaza City, Ibu Kota Jalur Gaza.
Barak Ravid, jurnalis Timur Tengah yang bekerja untuk situs berita Amerika Serikat (AS) Axios dan lainnya, menjadi salah satu yang pertama melaporkan keputusan Dewan Keamanan Israel.
Dalam unggahannya di platform X, Ravid menjelaskan lebih lanjut tentang rencana Israel.
"Tujuannya adalah mengevakuasi seluruh warga sipil Palestina dari Kota Gaza ke kamp-kamp pusat dan wilayah lain sebelum 7 Oktober," tulis Ravid.
Baca Juga: Lawan Kartel Narkoba Amerika Latin, Trump Perintahkan Pentagon Pakai Kekuatan Militer
"Pasukan Hamas yang masih berada di Kota Gaza akan dikepung dan pada saat yang sama, serangan darat akan dilakukan di wilayah tersebut. Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan telah diberi wewenang untuk menyetujui rencana operasional akhir IDF."
Kantor Perdana Menteri Israel menyatakan bahwa Kabinet Keamanan telah menyetujui rencana pengambilalihan Kota Gaza.
Keputusan yang diambil pada Jumat (08/08) pagi waktu setempat ini, menandai eskalasi baru dalam operasi militer Israel yang berlangsung selama 22 bulan di Gaza, yang dimulai sebagai respons atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Dalam pernyataannya, Kantor Perdana Menteri menyebutkan bahwa Israel akan tetap memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga sipil di luar zona pertempuran.
Menurut The Times of Israel, mayoritas anggota kabinet mendukung lima syarat untuk mengakhiri perang:
1. Pelucutan senjata Hamas
2. Pemulangan 50 sandera, termasuk 20 orang yang diyakini masih hidup
3. Demiliterisasi Jalur Gaza
4. Kontrol keamanan Israel atas wilayah tersebut
5. Adanya pemerintahan sipil alternatif yang bukan berasal dari Hamas maupun Otoritas Palestina.
Baca Juga: Penerus BTS dan TXT, BIGHIT MUSIC Perkenalkan Boyband Baru
Kelompok militan Palestina, Hamas, yang menguasai Gaza, menyatakan bahwa rencana Netanyahu untuk mengambil alih Gaza akan merusak harapan tercapainya gencatan senjata.
Hamas menyebut pernyataan terbaru Netanyahu sebagai "pembalikan arah yang jelas dari jalur negosiasi dan menunjukkan motif sebenarnya di balik penarikan dirinya dari putaran akhir, padahal kita sudah sangat dekat dengan kesepakatan final."
Hamas juga menuduh Netanyahu "berusaha menyingkirkan para sandera dan mengorbankan mereka demi kepentingan pribadi serta agenda ideologis ekstremnya."