RIAU24.COM - Sebuah kota di Spanyol menghadapi kemarahan besar karena dianggap ‘Islamofobia’ setelah melarang perayaan hari raya Muslim secara publik.
Larangan di kota Jumilla, yang terletak di tenggara Spanyol, merupakan insiden pertama dalam sejarah negara tersebut.
Berdasarkan larangan tersebut, umat Muslim tidak akan diizinkan merayakan hari raya mereka di tempat-tempat seperti pusat kota dan pusat kebugaran.
Larangan ini diajukan oleh Partai Rakyat (PP) yang konservatif dan disahkan dengan abstain dari Partai Vox yang berhaluan kanan ekstrem dan oposisi dari partai-partai sayap kiri lokal.
Usulan pelarangan tersebut menyatakan, "Fasilitas olahraga kota tidak boleh digunakan untuk kegiatan keagamaan, budaya, atau sosial yang bertentangan dengan identitas kita, kecuali diselenggarakan oleh otoritas setempat," demikian dilaporkan surat kabar Inggris The Guardian pada 6 Agustus.
Partai Vox setempat mengunggah postingan di platform media sosial X dan menyatakan, "Berkat Vox, langkah pertama untuk melarang festival Islam di ruang publik Spanyol telah disahkan. Spanyol adalah dan akan selamanya menjadi negeri umat Kristen."
Presiden Federasi Organisasi Islam Spanyol, saat berbicara kepada surat kabar El País, menyebut keputusan itu Islamofobia dan diskriminatif.
Ia berkata, "Mereka tidak menyerang agama lain, mereka menyerang agama kita."
"Kami cukup terkejut dengan apa yang terjadi di Spanyol. Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, saya merasa takut," tambahnya.
Di antara 27.000 penduduk kota tersebut, umat Muslim mencapai sekitar 7,5 persen, lapor The Guardian.
'Kebebasan ideologi?’
Larangan ini bertentangan dengan konstitusi Spanyol karena Pasal 16 Konstitusi Spanyol menyatakan, "Kebebasan berideologi, beragama, dan beribadah individu dan komunitas dijamin, tanpa batasan lain atas ekspresi mereka selain yang diperlukan untuk menjaga ketertiban umum sebagaimana dilindungi oleh hukum."
Oleh karena itu, keputusan pelarangan ini pasti akan digugat.
Francisco Lucas, pemimpin sosialis di Murcia, mengatakan di X, “PP melanggar konstitusi dan membahayakan kohesi sosial hanya karena mengejar kekuasaan.”
(***)