RIAU24.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan Pimpinan DPR RI terkait pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Langkah ini diambil sebagai bentuk kekhawatiran KPK atas sejumlah pasal dalam rancangan regulasi tersebut yang dinilai berpotensi menghambat kerja-kerja pemberantasan korupsi di masa depan.
"Beberapa waktu lalu kami telah menyampaikan surat kepada Ketua DPR dengan tembusan kepada Ketua Komisi III DPR. Kami juga mengajukan permintaan audiensi dan menyerahkan pandangan serta usulan terhadap draf RKUHAP yang kami pegang," ujar Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK, Imam Akbar Wahyu Nuryamto, dalam diskusi publik bertajuk Menakar Dampak RUU Hukum Acara Pidana bagi Pemberantasan Korupsi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/7).
Imam menyebut bahwa surat serupa juga telah dikirimkan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Hukum dan HAM. Namun, hingga saat ini KPK belum mendapatkan balasan atau undangan resmi untuk menyampaikan masukan secara langsung dalam proses legislasi tersebut.
“Kami tidak tahu secara pasti seperti apa perkembangan pasal-pasal RKUHAP hingga hari ini, karena kami belum dilibatkan secara langsung,” imbuhnya.
Menurut Imam, pembentukan undang-undang semestinya dilakukan dengan mengedepankan asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Ia menekankan pentingnya melibatkan lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK dalam proses pembahasan regulasi yang menyangkut sistem peradilan pidana.
“Kami mendukung pembaruan KUHAP karena sudah cukup lama tidak diperbarui, terlebih KUHP baru akan mulai berlaku pada Januari 2026. Namun, pembaruan ini harus dilakukan dengan tetap menjamin keberlangsungan lex specialis dalam pemberantasan korupsi,” jelasnya.
Imam mengungkapkan, KPK bersama sejumlah pakar telah menyusun kajian kritis terhadap draf RKUHAP dan mengidentifikasi sedikitnya 17 permasalahan substansial. Salah satu poin krusial adalah kekhawatiran bahwa beberapa pasal justru dapat menghapus keberlakuan asas lex specialis bagi tindak pidana korupsi, yang selama ini menjadi pijakan hukum KPK.
Salah satu pasal yang disorot adalah Pasal 327, yang dinilai dapat ditafsirkan bahwa penyelesaian perkara pidana hanya dapat dilakukan melalui prosedur hukum acara biasa. Padahal, KPK mengacu pada hukum acara khusus sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Kekhawatiran lain muncul dari Pasal 20, yang menyebut bahwa proses penyelidikan harus dikoordinasikan, diawasi, dan diberi petunjuk oleh Kepolisian. Menurut Imam, rumusan tersebut dapat mengancam independensi penyelidikan yang menjadi prinsip dasar kerja KPK.
“Apakah benar ini yang diinginkan oleh para perumus undang-undang? Ketika penyelidikan harus berada di bawah kendali pihak lain, maka independensi KPK sebagai lembaga ad hoc bisa tergerus,” tegasnya.
Sejauh ini, KPK menunggu respons resmi dari Presiden maupun DPR terhadap surat permintaan audiensi dan masukan yang telah dikirimkan. Lembaga antikorupsi itu berharap agar proses legislasi RKUHAP tidak justru menjadi titik balik dalam melemahkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.