Kaesang Kembali Pimpin PSI, Jokowi Turun Gunung: Reformasi Politik atau Konsolidasi Keluarga?

R24/zura
Kaesang Kembali Pimpin PSI, Jokowi Turun Gunung: Reformasi Politik atau Konsolidasi Keluarga?
Kaesang Kembali Pimpin PSI, Jokowi Turun Gunung: Reformasi Politik atau Konsolidasi Keluarga?

RIAU24.COM -Partai Solidaritas Indonesia (PSI) resmi kembali menunjuk Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum periode 2025–2030. Keputusan itu diambil dalam Kongres PSI yang digelar di Graha Saba Buana, Solo, akhir pekan lalu. Namun di balik perayaan politik itu, muncul kembali perdebatan yang belum usai: benarkah PSI partai terbuka, atau justru telah menjelma menjadi instrumen politik keluarga Presiden ke-7 RI, Joko Widodo?

Dukungan Jokowi terhadap PSI tidak lagi bersifat simbolik. Dalam pidatonya saat membuka kongres, ia menyatakan secara eksplisit bahwa dirinya “akan full mendukung PSI.” Dukungan itu, kata dia, bukan sekadar kata-kata. “Bisa di depan, bisa di belakang, bisa di tengah,” tegas Jokowi.

Pernyataan itu langsung disambut riuh ribuan peserta kongres. Jokowi bahkan memuji lambang baru PSI—seekor gajah—sebagai simbol dari kekuatan, kecerdasan, dan kebijaksanaan. Baginya, PSI kini punya peluang besar menjadi kekuatan utama dalam Pemilu 2029, dan makin matang menuju 2034. "Feeling saya akan mulai besar di 2034, dengan catatan mesinnya bekerja keras semua," ujarnya.

Namun di luar ruang kongres, skeptisisme terus bergulir. Direktur Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, menyebut apa yang terjadi di PSI hanyalah bagian dari skenario panjang pasca kekuasaan Jokowi. Menurutnya, PSI sejak awal memang dirancang sebagai kendaraan politik keluarga.

“Dari semua rangkaian drama, sudah bisa dipastikan bahwa PSI akan kembali dipimpin oleh Keluarga Jokowi, dalam hal ini oleh Kaesang Pangarep bin Joko Widodo,” ujar Iwan kepada media.

Ia bahkan menyebut kemungkinan Jokowi akan segera masuk secara resmi ke dalam struktur partai sebagai Ketua Dewan Pembina atau posisi strategis lain. Namun saat ditanya langsung oleh wartawan usai menerima Presiden Prabowo di kediamannya, Minggu malam, Jokowi menampik sudah bergabung secara formal. “Belum,” jawabnya singkat, sembari meminta wartawan untuk menanyakannya langsung ke pihak PSI.

Meski demikian, dukungan politiknya tak diragukan. Jokowi memuji konsep “Partai Super Tbk” yang diusung PSI—yakni sebuah model organisasi partai di mana seluruh anggota dianggap memiliki “saham” politik dan ikut menentukan arah kepemimpinan. Salah satu praktik yang ditonjolkan adalah penggunaan sistem e-vote dalam pemilihan ketua umum.

“Kalau model politik seperti ini kita lakukan, tidak ada lagi politik di belakang layar. Semuanya open, semuanya transparan. Tidak ada lagi keputusan segelintir orang,” kata Jokowi saat menyampaikan pidatonya.

Tapi bagi Iwan Setiawan, konsep Partai Tbk yang diklaim PSI masih belum lebih dari sekadar gimmick. Menurutnya, hanya mengandalkan sistem pemilihan digital tidak cukup untuk menyebut PSI sebagai partai terbuka.

“Kalau konsep TBK hanya diukur dari metodologi pemilihan ketum, itu belum memenuhi syarat sebagai partai terbuka. PSI harus punya penerapan yang komprehensif,” tegasnya.

Iwan menilai, slogan “PSI partainya Jokowi” bukan sekadar retorika, melainkan cerminan realitas. Kaesang yang tak memiliki rekam jejak panjang dalam politik tetap mendapat kepercayaan sebagai pucuk pimpinan partai. Lebih jauh lagi, PSI juga disebut-sebut menjadi benteng politik yang akan melindungi anak dan menantu Jokowi setelah dirinya tak lagi menjabat presiden.

“Dengan PSI, Jokowi masih punya nilai tawar dan kendaraan politik untuk tetap eksis,” kata Iwan.

Dalam pemilihan internal PSI, Kaesang mengungguli dua kandidat lain—Ronald A. Sinaga dan Agus Mulyono Herlambang—melalui sistem e-voting. Kemenangan itu disambut cepat dan mulus, seolah tanpa resistensi. Kaesang pun diminta segera menyusun kepengurusan dan mengkonsolidasikan partai menghadapi Pemilu 2029.

Kongres PSI yang semula dirancang sebagai ajang reformasi internal justru mempertegas arah baru partai tersebut: semakin lekat dengan nama Jokowi. Apakah ini pertanda konsolidasi kekuatan politik keluarga? Atau transformasi PSI menjadi partai modern dan terbuka? Jawabannya tampaknya masih terjebak di antara euforia dan ironi.

Yang pasti, peran Jokowi tak lagi bisa dilihat dari luar pagar. Dukungan politik, simbolisme keluarga, dan kontrol informal terhadap struktur kepemimpinan partai menjadikan PSI tak lepas dari bayang-bayang dinasti politik. Meski Jokowi belum secara resmi bergabung, namun kehadiran dan pengaruhnya sudah menjadi roh yang menghidupkan tubuh PSI.

Kini, publik hanya bisa menunggu: apakah PSI akan membuktikan dirinya sebagai partai muda yang visioner, atau sekadar menjadi alat perpanjangan tangan kekuasaan lama dengan wajah baru.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak