Kanker Pankreas Bisa Terdeteksi Lewat Feses, Begini Ciri-cirinya

R24/dev
Kanker Pankreas Bisa Terdeteksi Lewat Feses, Begini Ciri-cirinya
Kanker Pankreas Bisa Terdeteksi Lewat Feses, Begini Ciri-cirinya

RIAU24.COM - Pankreas adalah salah satu organ yang tak kenal lelah, terus bekerja di balik layar, terlepas dari apakah seseorang sudah sarapan atau belum. Organ vital ini menghasilkan enzim yang membantu mencerna makanan dan hormon yang mengatur metabolisme. Namun, jika pankreas bermasalah, konsekuensinya bisa sangat fatal.

Dikutip dari Science Alert, kanker pankreas sering dijuluki 'silent killer' karena suatu alasan. Ketika sebagian besar pasien mulai merasakan gejala, penyakit ini seringkali sudah mencapai stadium lanjut, pilihan pengobatan menjadi sangat terbatas.

Di Inggris sendiri, lebih dari 10.700 kasus baru dan 9.500 kematian akibat kanker pankreas tercatat antara tahun 2017 dan 2019, dengan tingkat kejadian yang terus meningkat.

Pancreatic ductal adenocarcinoma (PDAC) adalah bentuk kanker pankreas yang paling umum, berkembang di saluran pankreas, tabung yang menghubungkan pankreas ke usus halus. Saat tumor tumbuh di area ini, aliran enzim pencernaan bisa terhambat.

Akibatnya, pasien sering mengalami masalah metabolisme energi yang menyebabkan kelelahan kronis dan rasa tidak enak badan. Sayangnya, gejala-gejala ini sering kali sangat samar, sehingga mudah diabaikan atau dikira sebagai masalah kesehatan lain.

Sebagai upaya deteksi dini, ilmuwan menguji coba sampel feses sebagai pendekatan dalam diagnosis kanker. Feses menyimpan banyak informasi tentang kondisi kesehatan seseorang.

Sebagai upaya deteksi dini, ilmuwan menguji coba sampel feses sebagai pendekatan dalam diagnosis kanker. Feses menyimpan banyak informasi tentang kondisi kesehatan seseorang.

Hal ini karena usus manusia adalah rumah bagi triliunan bakteri, jumlah sel bakteri dalam tubuh bahkan melebihi jumlah sel manusia, sekitar 40 triliun berbanding 30 triliun. Penghuni mikroskopis ini membentuk komunitas kompleks yang dapat mencerminkan kondisi kesehatan, termasuk keberadaan penyakit.

PDAC biasanya berkembang di bagian pankreas yang terhubung ke usus, dan kebanyakan orang buang air besar secara teratur. Adapun sampel tinja memberikan gambaran praktis dan non-invasif tentang apa yang terjadi di dalam tubuh.

Terobosan terbaru ini berasal dari studi internasional tahun 2025 yang melibatkan ilmuwan di Finlandia dan Iran, yang bertujuan untuk meneliti hubungan antara bakteri usus dan timbulnya kanker pankreas di berbagai populasi.

Para ilmuwan mengumpulkan sampel tinja dan menganalisis DNA bakteri menggunakan teknik yang disebut pengurutan amplikon gen 16S rRNA. Para ilmuwan mengurutkan dan membandingkan wilayah genetik yang terdapat dalam genom setiap bakteri, yang memungkinkan mereka mengidentifikasi dan menghitung berbagai spesies bakteri secara bersamaan.

Hasilnya, pasien dengan PDAC menunjukkan penurunan keragaman bakteri di usus mereka, dengan spesies tertentu yang diperkaya atau berkurang dibandingkan dengan orang sehat.

Bahkan, pola bakteri yang muncul bisa digunakan sebagai 'sidik jari' biologis untuk membedakan mana yang mengidap kanker. Tim kemudian mengembangkan model kecerdasan buatan (AI) yang mampu mengidentifikasi pengidap kanker pankreas hanya berdasarkan profil mikrobioma mereka dan hasilnya sangat akurat.

Penelitian mikrobioma usus berkembang pesat. Metode terbaru seperti shotgun metagenomic sequencing kini mampu memetakan seluruh genom bakteri secara detail, bahkan mendeteksi transfer bakteri antarindividu.

Pendekatan Baru Deteksi Kanker
Pendekatan ini mulai mengubah cara pandang dunia medis: dari tubuh manusia sebagai sistem terisolasi, menjadi ekosistem kompleks bersama mikroba yang tinggal di dalamnya. Human plus microbiomekini menjadi paradigma baru dalam ilmu kesehatan.

Tak hanya untuk kanker pankreas, pendekatan ini juga mulai diterapkan dalam penelitian kanker kolorektal dan penyakit lainnya. Di Quadram Institute, lebih dari seribu sampel tinja telah dianalisis untuk memetakan perilaku bakteri dalam kanker usus besar.

Interaksi antara bakteri dan kanker sangat kompleks. Tidak hanya kanker yang bisa mengubah ekosistem mikroba, tetapi komposisi mikroba juga dapat mempercepat atau memperlambat perkembangan penyakit. Fenomena serupa juga ditemukan pada pasien Parkinson.

Meski teknologi ini masih dalam tahap awal untuk diterapkan di klinik, ilmuwan optimistis bahwa mikrobioma bisa menjadi kunci untuk deteksi dini kanker mematikan. Dengan bantuan AI dan bioteknologi, deteksi kanker mungkin tak lagi bergantung pada gejala, tetapi bisa dimulai dari yang kita buang setiap hari.

"Kita semakin memahami bahwa jawaban dari berbagai pertanyaan medis bisa saja tersembunyi dalam hal yang selama ini kita abaikan, yaitu feses," tulis ilmuwan dari Quadram Institute dalam The Conversation. ***

 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak