Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Rocky Gerung: MK Hentikan Dominasi Jokowi

R24/zura
Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Rocky Gerung: MK Hentikan Dominasi Jokowi.
Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Rocky Gerung: MK Hentikan Dominasi Jokowi.

RIAU24.COM -Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terbaru yang mengubah pola pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. 

Dalam keputusan tersebut, MK menetapkan bahwa Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah tidak lagi diselenggarakan secara serentak. 

Pemisahan jadwal ini mulai berlaku pada pemilu tahun 2029, dengan jeda waktu dua hingga dua setengah tahun antara pemilu pusat dan daerah.

Putusan ini sekaligus mengakhiri skema pemilu serentak yang dijalankan sejak 2019, dan mengundang perhatian publik maupun pengamat politik yang menilai bahwa sistem sebelumnya menyisakan sejumlah persoalan.

Evaluasi Terhadap Pemilu Serentak

Sistem pemilu serentak pertama kali diterapkan pada 2019 dengan tujuan menyederhanakan proses elektoral. Namun dalam pelaksanaannya, pemilih harus mencoblos lima jenis surat suara dalam satu waktu: presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pengamat politik Rocky Gerung menyebut sistem tersebut memiliki dampak yang tidak ringan terhadap pemilih maupun penyelenggara pemilu. Ia menilai, kompleksitas pemilu serentak berpotensi membebani kapasitas pemilih dan partai politik dalam proses kaderisasi.

“Bukan hanya rakyat yang kelelahan, partai politik pun harus membagi sumber daya dalam satu waktu,” kata Rocky dalam diskusi bersama FNN.

Menurutnya, beban tersebut tidak hanya administratif, tetapi juga menyangkut psikologis pemilih dan kesiapan struktur partai.

Dampak Langsung: Masa Jabatan dan Legitimasi Politik

Dengan diterapkannya pemisahan jadwal, pemilu nasional—mencakup pemilihan presiden, wakil presiden, DPR, dan DPD—akan dilakukan lebih dulu. Pemilu untuk kepala daerah dan DPRD baru akan digelar setidaknya dua tahun setelahnya.

Konsekuensi dari skema ini adalah kemungkinan perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang masa baktinya habis sebelum pemilu daerah digelar. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi politik dan potensi dampak etik dalam masa transisi tersebut.

Rocky mengingatkan bahwa pada periode sebelumnya, penunjukan pelaksana tugas (Plt) kepala daerah dilakukan oleh pemerintah pusat, yang menurutnya dapat mempengaruhi netralitas birokrasi di daerah.

Namun, ia mencatat bahwa kali ini keputusan berasal dari lembaga yudikatif, bukan eksekutif. 

“Ada perbedaan penting ketika mandat berasal dari Mahkamah Konstitusi, bukan dari keputusan administratif presiden,” ujar Rocky.

Ruang Baru untuk Konsolidasi Partai Politik

Dengan rentang waktu yang lebih panjang antara pemilu pusat dan daerah, partai politik diperkirakan memiliki kesempatan lebih besar untuk mempersiapkan kader secara bertahap. Rocky melihat ini sebagai peluang untuk memperbaiki sistem kaderisasi internal partai.

“Kalau jedanya cukup, partai bisa lebih fokus mendidik kader lokal. Selama ini kaderisasi sering terganggu karena semua digelar serentak,” katanya.

Ia juga menyoroti pentingnya mendorong politik berbasis kapasitas dan integritas, bukan semata logistik kampanye. Dalam pandangannya, partai dapat menggunakan waktu yang tersedia untuk menyusun strategi lebih berkelanjutan, termasuk pendidikan politik bagi calon legislatif dan eksekutif daerah.

Pemilu Lokal sebagai Indikator Politik Nasional

Skema pemisahan ini membuka ruang untuk membaca tren politik pasca pemilu nasional. Rocky menilai bahwa hasil pemilu lokal dua tahun setelah pemilu pusat dapat mencerminkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah pusat.

“Jika partai pemerintah kalah di daerah, itu bisa menjadi sinyal politik,” ujarnya.

Rocky membandingkan mekanisme ini dengan model midterm election di Amerika Serikat, yang memungkinkan rakyat memberikan penilaian terhadap jalannya pemerintahan melalui pemilihan legislatif dan lokal di tengah masa jabatan presiden.

Meski berbeda secara sistemik, ia menilai pola tersebut dapat memperkuat fungsi kontrol publik dalam sistem demokrasi presidensial.

Menanggapi Wacana Pemilu Tak Langsung

Putusan MK ini juga dianggap sebagai penegasan terhadap pentingnya pemilu langsung. Dalam beberapa waktu terakhir, muncul wacana pengembalian pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan pemilihan presiden oleh MPR. Namun, melalui keputusan ini, MK menegaskan prinsip pemilu langsung sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi berdasarkan UUD 1945.

“Rakyat harus tetap menjadi subjek utama dalam proses elektoral. Pemilu langsung adalah bagian dari kedaulatan itu,” kata Rocky.

Putusan MK untuk memisahkan pemilu nasional dan lokal dipandang sebagai perubahan penting dalam sistem demokrasi elektoral Indonesia. Meski masih menyisakan sejumlah catatan, skema baru ini membuka ruang bagi perbaikan kelembagaan partai, konsolidasi politik, serta evaluasi kinerja pemerintahan secara periodik.

Rocky Gerung menilai bahwa keputusan ini menciptakan peluang untuk memperkuat basis politik berbasis pengetahuan, integritas, dan kaderisasi jangka panjang. Ia menekankan pentingnya membangun generasi pemimpin yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki kapasitas analisis dan pemahaman kebangsaan.

“Persaingan politik masa depan tidak hanya ditentukan oleh popularitas, tapi oleh penguasaan pengetahuan,” pungkasnya.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak