Polemik Perebutan 4 Pulau Aceh, Pakar Nilai jadi Cermin Buruk Kinerja Pemerintah 

R24/zura
Polemik Perebutan 4 Pulau Aceh, Pakar Nilai jadi Cermin Buruk Kinerja Pemerintah. (Dok.Sekretariat Presiden)
Polemik Perebutan 4 Pulau Aceh, Pakar Nilai jadi Cermin Buruk Kinerja Pemerintah. (Dok.Sekretariat Presiden)

RIAU24.COM -Polemik perebutan kepemilikan empat pulau oleh Aceh dan Sumatera Utara memperlihatkan koordinasi yang buruk dalam pemerintahan Prabowo Subianto.

Masalah bermula ketika Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.

Dalam keputusan itu, Tito menempatkan empat pulau yang berada di perbatasan Aceh-Sumatera Utara masuk dalam status administrasi wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

Tito mengklaim penetapan empat pulau yang awalnya milik Aceh menjadi Sumut telah melalui kajian letak geografis dan keputusan lintas instansi.

Keputusan Tito pun mendapat protes keras dari Aceh. Mereka menolak empat pulau, yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek jadi wilayah Sumut.

Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH UNPAD Muhammad Yoppy menilai kegaduhan atau polemik terkait kebijakan pemerintah yang berulang ini karena buruknya koordinasi menteri dan presiden.

"Presiden juga seharusnya menegaskan kembali bahwa 'tidak ada visi misi Menteri dan mengimplementasikannya dengan tegas. Terlihat sekali saat ini tidak ada koordinasi yang baik antara Menteri dan Presiden," kata Yoppy melansir CNNIndonesia.com, Rabu (18/6).

Ia memandang pemerintahan Prabowo-Gibran memerlukan sistem atau komunikasi terpusat. Dengan cara itu, kata dia, tidak ada lagi penyampaian keterangan yang berbeda bahkan dari internal Kabinet Merah Putih sendiri.

Menurutnya, Prabowo juga harus menguatkan sistem koordinasi dan pengawasan agar tidak ada lagi kebijakan yang nantinya harus direvisi oleh pimpinan negara.

"Pemerintah menjalankan komunikasi satu komando sehingga ada keterangan yang sama dan konsisten dari tingkatan pemerintah paling bawah di daerah hingga ke tingkat pusat," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesian and Development Policy Cusdiawan menilai kegaduhan yang terjadi terkait kepemilikan empat pulau ini juga memperlihatkan bahwa pemerintah daerah tak dilibatkan dalam mengambil keputusan strategis

Menurutnya, kegaduhan publik terkait kepemilikan empat pulau berawal dari pengambilan kebijakan Kemendagri yang dinilai bersifat sentralistik dan tidak dilakukan secara hati-hati.

Kondisi itu, kata Cusdiawan, diperparah dengan komunikasi publik Mendagri Tito Karnavian yang buruk. Ia menilai seharusnya Kemendagri terlebih dahulu membuka ruang komunikasi dengan Pemprov Aceh maupun tokoh-tokoh setempat.

"Gejolak yang timbul justru menunjukkan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pihak yang bersengketa," katanya.

Cusdiawan memandang hal itu juga menjadi bukti bahwa pemerintah tidak memiliki sensitivitas yang baik terhadap kebijakan-kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal.

Ia mengingatkan agar seluruh pengambilan kebijakan yang bersifat horizontal agar mempertimbangkan faktor sosiologi maupun sejarah untuk mencegah konflik yang lebih besar.

Lebih lanjut, Cusdiawan juga menyoroti sikap pemerintah yang cenderung defensif hingga akhir. Alih-alih menyebut 'isu liar', kata dia, pemerintah seharusnya menyampaikan bakal melakukan evaluasi terhadap pola komunikasi dan proses pengambilan keputusan sebelumnya.

"Kecurigaan publik yang muncul soal putusan Kemendagri yang menempatkan 4 Pulau di wilayah Sumut, yang disebut oleh Mensesneg sebagai 'isu liar' justru sangat wajar dan menunjukkan kemungkinan adanya krisis legitimasi dari sebagian masyarakat atas kinerja pemerintahan," jelasnya.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak