RIAU24.COM - Anggota Komisi X DPR Bonnie Triyana menilai proyek penulisan ulang sejarah yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebaiknya dihentikan jika bersifat selektif dan parsial.
Hal itu disampaikan Bonnie sebagai tanggapan atas pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyebut pemerkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998 tak punya bukti kuat dan hanya berdasarkan rumor.
"Jangan lakukan penulisan sejarah melalui pendekatan kekuasaan yang bersifat selektif dan parsial atas pertimbangan-pertimbangan politis. Apabila ini terjadi, lebih baik hentikan saja proyek penulisan sejarah ini,” ujar Bonnie, kepada Kompas.com, Rabu (18/6).
Menurut Bonnie, pernyataan dan pandangan Fadli Zon soal kasus pemerkosaan massal 1998 sarat akan subjektivitas.
Oleh karena itu, apa yang menurut Fadli Zon tak ada, bukan berarti menegaskan peristiwa tersebut tidak pernah terjadi.
"Apa yang menurut Menteri Kebudayaan tidak ada, bukan berarti tak terjadi,” ujar Bonnie.
Politikus PDI-P itu mengingatkan adanya laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang menemukan adanya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Jakarta, Medan, dan Surabaya, dalam kerusuhan 1998.
Bentuk kekerasan seksual itu, lanjut Bonnie, terbagi menjadi empat kategori. Pertama adalah pemerkosaan (52 korban), kedua pemerkosaan disertai penganiayaan (14 orang), ketiga penyerangan atau penganiayaan seksual (10 orang), dan terakhir pelecehan seksual (9 orang).
Atas dasar itu, Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan tak sepatutnya melanggengkan budaya pengangkatan atas peristiwa tindak kekerasan, khususnya yang menyasar kaum perempuan Tionghoa saat kerusuhan 1998.
"Kalau semangat menulis sejarah untuk mempersatukan, mengapa cara berpikirnya parsial dengan mempersoalkan istilah massal atau tidak dalam kekerasan seksual tersebut, padahal laporan TGPF jelas menyebutkan ada lebih dari 50 korban perkosaan," ujar Bonnie.
"Penyangkalan atas peristiwa pemerkosaan massal terhadap kaum perempuan Tionghoa dalam kerusuhan rasial 1998 hanya akan menambah beban traumatik pada penyintas dan keluarganya, bahkan kepada masyarakat yang mengalami peristiwa itu,” sambung dia.
Politikus berlatar belakang sejarawan itu menekankan bahwa karya sejarah tidak harus sepenuhnya diisi dan dipenuhi kisah-kisah kepahlawanan yang inspiratif saja.
Menurut Bonnie, pengalaman kolektif yang kelam dalam sejarah masa lalu bangsa juga dapat menjadi pembelajaran dan berguna bagi generasi penerus bangsa.
"Tanpa terkecuali untuk penyelenggara negara di masa kini dan masa depan," pungkas dia.
Diberitakan sebelumnya, Fadli Zon menyebut tidak ada peristiwa pemerkosaan massal pada tahun 1998, saat kementerian yang dipimpinnya bakal melakukan penulisan sejarah.
Baca Juga: Pengamat Nilai Kembalinya 4 Pulau ke Aceh Bukti Mualem Punya 'Taring' di Pemerintah Pusat
Pernyataan ini dikritik banyak pihak, termasuk oleh aktivis perempuan yang terjun langsung menangani korban pada tahun kelam itu.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mempertanyakan kebenaran kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 dan menyebutnya sebagai “rumor”.
Koalisi mendesak Fadli Zon segera mencabut ucapannya secara terbuka dan meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban.