RIAU24.COM - Di salah satu sudut Jalan Sudirman, Pekanbaru, seorang pria bernama Norman (55) setia menjajakan lemang di lapak sederhananya.
Sudah lebih dari satu dekade Norman menjalani usaha ini, menawarkan makanan khas berbahan dasar beras ketan yang dimasak dalam bambu kepada para pejalan kaki dan pengendara yang melintas.
“Sudah lama, ada kali lebih dari 10 tahun,” ujar Norman saat ditemui di lapaknya pada Jum’at (30/5).
Setiap harinya, lapak lemang milik Norman mulai dibuka pukul 09.00 pagi dan tutup sekitar pukul 18.00 sore.
Usaha ini dia jalankan bersama istrinya secara bergantian, tak hanya berjualan Norman juga membantu menjaga parkir di sekitar lokasi untuk menambah penghasilan.
Lemang yang dijual Norman diperoleh langsung dari produsen lokal dengan harga Rp30.000 per batang, dan kemudian dijual kembali dengan harga antara Rp35.000 hingga Rp40.000, tergantung permintaan konsumen.
Pembeli dapat membeli satu batang penuh atau setengah batang sesuai kebutuhan.
Setiap harinya, Norman membawa rata-rata empat batang lemang, namun ia mengakui bahwa penjualan tidak selalu stabil.
“Kadang ada yang laku banyak, kadang sedikit, kadang tidak laku sama sekali,” jelasnya.
Lemang yang tidak habis dijual pada hari tersebut dapat bertahan hingga tiga hari, jika masih memungkinkan, lemang yang tidak terjual akan dikembalikan ke produsen pada sore harinya,tapi jika sudah melewati masa simpan, maka lemang tersebut terpaksa dibuang.
Pendapatan yang diperoleh Norman dari hasil berjualan tidak menentu, dengan omzet bulanan yang bisa mencapai satu juta rupiah namun kadang kurang dari lima ratus ribu rupiah.
Sementara itu tantangan utama yang dihadapinya selain fluktuasi pembeli adalah penertiban oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
“Kadang Satpol PP langsung mengangkut barang dagangan. Jadi yang saya pajang di meja cuma bambu kosong sebagai hiasan, supaya kalau sewaktu-waktu ditertibkan, saya tidak mengalami kerugian,” jelas Norman.
Norman menyadari bahwa minat masyarakat terhadap lemang tidak seperti dulu menurutnya, saat ini penjualan sangat bergantung pada selera pasar yang berubah-ubah.
“Dibilang banyak iya juga, dibilang tidak juga iya. Tidak menentu,” tambahnya.
Dia bukan satu-satunya pedagang lemang di sepanjang Jalan Sudirman sebagian besar pedagang di area tersebut juga menjalankan sistem yang serupa, yakni mengambil lemang dari produsen untuk kemudian dijual kembali secara eceran.
Kisah Norman mencerminkan realitas yang dihadapi oleh banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.
Di tengah berbagai keterbatasan dan tantangan, mereka tetap berusaha bertahan dan memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian lokal.
Dukungan dari masyarakat, baik dalam bentuk pembelian langsung maupun penyediaan ruang berjualan yang aman dan tertib, sangat dibutuhkan agar usaha-usaha kecil seperti milik Norman dapat terus berkembang dan bertahan di tengah perkembangan zaman.
Lemang adalah makanan tradisional khas Melayu yang populer di Indonesia, Malaysia, dan Brunei, terbuat dari beras ketan yang dimasak secara khusus di dalam bambu berlapis daun pisang dan dibakar di atas api hingga matang merata, menghasilkan aroma khas serta rasa gurih yang unik.
Secara historis, lemang disiapkan sebagai hidangan khas saat perayaan hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha, sekaligus menjadi simbol kebersamaan dan tradisi turun-temurun dalam budaya Melayu yang sering disajikan bersama rendang atau lauk-pauk lainnya.
Teknik pembuatan lemang dengan menggunakan bambu dan pembakaran langsung diyakini telah ada sejak zaman dahulu sebelum peralatan memasak modern, dan tradisi ini masih dipertahankan hingga kini sebagai upaya pelestarian warisan kuliner lokal.
(alin)