RIAU24.COM -Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, mengakui bahwa salinan ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ia analisis didapat dari media sosial.
Pengakuan ini muncul dalam dialog panas antara Roy Suryo dan Kuasa Hukum Jokowi, Yakup Hasibuan, di program Dua Arah Kompas TV, Jumat (2/5/2025).
Awalnya, Roy Suryo membantah klaim bahwa ia memperoleh ijazah tersebut secara daring.
"Gak, ini sama sekali bukan online," ujarnya.
Namun, ketika Yakup Hasibuan mencecar sumber ijazah yang dianalisisnya, Roy Suryo akhirnya mengaku mendapatkannya dari media sosial.
"Oke, itu tadi dari seseorang yang menuliskan (di media sosial), katanya dia mendapatkan langsung dari Pak Jokowi," kata Roy Suryo.
Pengakuan Roy Suryo ini bertentangan dengan pernyataan ahli forensik dokumen, Raden Hendro.
Dalam dialog Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Jumat (9/5/2025), Hendro menegaskan bahwa objek dokumen berupa salinan, fotokopi, hasil pindai (scan), atau format PDF tidak dapat diperiksa secara forensik karena mudah direkayasa.
"Jadi begini, obyek dokumentasi itu kalau misalnya barang buktinya adalah fotokopi, scan atau PDF, itu tidak bisa diperiksa forensik karena itu dokumen yang mudah direkayasa," jelas Hendro.
Ia menambahkan, "Sekali lagi, fotokopi, lindasan karbon, scan, dan PDF, itu tidak bisa diforensik, karena apa? Itu dokumen yang mudah direkayasa."
Hendro menjelaskan bahwa dokumen yang dapat diuji laboratorium forensik sebagai alat bukti adalah dokumen asli yang valid dan berbentuk fisik.
"Jadi yang diperiksa adalah yang benar-benar valid, secara fisik, kita sentuh, kita lihat, kita cium, kita raba, maka kita periksa," tegasnya.
Ia pun mempertanyakan kesaksian pihak-pihak yang mengaku telah memeriksa dokumen ijazah Jokowi.
"Saksi adalah yang berada di sana, yang melihat dan mendengar. Berarti dia memegang dokumen (asli) tersebut," kata Hendro.
"Sedangkan dokumen yang diperiksa oleh mereka ahli yang sedang ramai itu, apakah sudah memegang, sudah menyentuh (aslinya)? Ini perlu teman-teman penyidik mempertanyakan juga di BAP atau di pengadilan oleh hakim," tambahnya.
Menurut Hendro, kasus yang sedang ramai saat ini, dengan objek bukti berupa dokumen elektronik yang beredar di media sosial, memiliki derajat validitas yang sangat rendah dan tidak dapat diperiksa secara forensik.
(***)