RIAU24.COM -Isu mutasi dan pemulihan jabatan Letjen Kunto Arif Wibowo, yang sempat menghebohkan publik, kini kembali menjadi sorotan politik yang semakin panas.
Semula, pencopotan Kunto dari posisinya sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I dan penunjukannya sebagai staf khusus Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) menimbulkan spekulasi besar.
Spekulasi ini diperkuat oleh dugaan bahwa pencopotan Kunto terkait dengan desakan purnawirawan TNI, yang mendesak agar Gibran Rakabuming, putra Presiden Jokowi, dimaksulkan dari jabatannya sebagai Wakil Presiden.
Sebagaimana diketahui, Kunto Arif adalah anak dari Jenderal (Purn.) Tri Sutrisno, mantan Wakil Presiden Indonesia dan mantan Panglima TNI.
Ketika isu pemaksulan Gibran semakin kuat, peran Kunto dalam mendukung ide tersebut semakin menonjol, menyebabkan spekulasi yang menyebutkan bahwa mutasi tersebut dipengaruhi oleh kekuatan politik di baliknya.
Beberapa analisis menyebutkan bahwa penggantian Kunto yang digantikan oleh perwira yang pernah menjadi ajudan Presiden Jokowi turut memperburuk spekulasi tersebut. Muncul anggapan bahwa langkah ini berhubungan dengan pengaruh Jokowi dalam struktur TNI.
Namun, beberapa hari setelah pencopotan, keputusan tersebut dibatalkan, dan Kunto kembali menduduki posisi semula.
Pembatalan ini semakin memunculkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya memutuskan untuk memulihkan posisi Kunto?
Apakah ini pertanda adanya intervensi dari pihak tertentu dalam pemerintahan, atau adakah faktor administratif yang menyebabkan perubahan tersebut?
Yang pasti, keputusan ini menimbulkan spekulasi lebih lanjut mengenai keberlanjutan pengaruh politik dalam struktur militer.
Pengamat politik Rocky Gerung menyebut pembatalan mutasi tersebut bukan peristiwa biasa. Menurutnya, hal itu mencerminkan adanya ketegangan antara institusi militer dengan kekuasaan sipil.
“Ini bukan sekadar mutasi administratif, tetapi menunjukkan bahwa ada semacam resistensi dalam tubuh militer terhadap dominasi kekuasaan politik,” kata Rocky saat diwawancarai, Jumat (3/5).
Rocky juga mengaitkan peristiwa ini dengan pernyataan terbuka para purnawirawan yang tergabung dalam kelompok moral yang menolak hasil Pilpres. Menurutnya, mutasi Letjen Kunto bisa dianggap sebagai tindakan politik yang bersifat balasan terhadap afiliasi keluarga Kunto.
"Publik melihat ini sebagai indikasi adanya kepentingan politik yang lebih dalam," ujar Rocky.
Ia juga menambahkan bahwa Kunto Arif merupakan salah satu sosok yang sangat kritis terhadap arah kebijakan politik negara, dan pemikirannya seringkali mengusung perspektif yang lebih akademis dan futuristik tentang kondisi bangsa.
Dalam konteks ini, mutasi Kunto Arif menggarisbawahi adanya ketegangan di antara purnawirawan TNI yang merasa khawatir akan arah politik Indonesia.
Kunto, yang selama ini dianggap sebagai perwira yang berpikir kritis terhadap masalah negara, akhirnya terjebak dalam perang opini yang lebih besar.
Keputusan pembatalan mutasi ini, menurut Rocky, bisa dilihat sebagai kemenangan sementara bagi kelompok purnawirawan yang menentang Gibran Rakabuming sebagai calon Presiden.
Mereka beranggapan bahwa penunjukan Gibran sebagai Wakil Presiden merupakan tindakan inkonstitusional dan jauh dari semangat demokrasi yang seharusnya berlaku.
Rocky juga menyoroti bahwa pemulihan jabatan Kunto Arif bisa jadi sebuah angin segar bagi kelompok purnawirawan yang selama ini merasa terpinggirkan dalam percaturan politik.
"Mereka merasa suara mereka, yang kritis terhadap pemerintahan saat ini, akhirnya mendapat pengakuan," tambahnya.
Namun, di sisi lain, spekulasi semakin menguat bahwa ini juga merupakan sinyal politik yang lebih besar, di mana kekuatan militer dan pengaruh di baliknya tidak bisa dipandang sebelah mata dalam menentukan arah politik Indonesia.
Situasi ini semakin memanaskan persaingan politik antara berbagai kubu. Prabowo Subianto, yang juga memiliki pengaruh besar dalam militer dan politik Indonesia, mulai mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak mendukungnya, bahkan sempat menarik dukungannya.
Penempatan kembali Kunto Arif dalam posisi semula memberikan dorongan bagi kelompok-kelompok ini untuk lebih agresif dalam mendesak perubahan dalam politik nasional.
Tentu saja, di balik keputusan ini, kita dapat melihat semakin terbukanya celah dalam posisi Gibran sebagai calon Presiden.
Publik mulai mempertanyakan kapasitasnya, dengan banyak yang menganggapnya tidak memenuhi syarat baik dari segi konstitusional maupun kapasitas pribadi.
Survei-survei yang memperlihatkan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap Gibran, yang bahkan melampaui kepuasan terhadap Presiden Jokowi, semakin memicu kontroversi.
Beberapa pihak bahkan mulai menggagas ide bahwa Gibran sebenarnya dipaksakan untuk menjabat.
Menghadapi situasi ini, Jokowi berada di tengah tekanan besar. Di satu sisi, ia harus menjaga stabilitas politik dengan memelihara hubungan baik dengan Prabowo dan pihak-pihak lain di dalam koalisinya.
Di sisi lain, ia harus menghadapi tuntutan dari purnawirawan yang terus mendorong perubahan. Keputusan Jokowi untuk mengirimkan Wiranto sebagai juru bicara memberi isyarat bahwa ia tidak bisa mengabaikan isu ini begitu saja, meskipun ia belum memberikan pernyataan yang lebih tegas.
Apakah ini langkah awal untuk menghadapi tekanan politik yang semakin besar, ataukah sebuah pengalihan perhatian sementara dari isu yang lebih besar? Waktu yang akan menjawab.
Yang jelas, spekulasi politik akan terus berkembang. Isu pemaksulan Gibran dan pergulatan politik di sekitar posisi Kunto Arif semakin menambah ketegangan dalam panggung politik Indonesia.
Kita hanya bisa menunggu, bagaimana langkah-langkah selanjutnya akan diambil oleh pemerintah dan aktor politik utama di dalamnya.
(***)