RIAU24.COM - Pemerintah menyatakan optimismenya terhadap daya saing minyak sawit (CPO) di pasar minyak nabati global, meskipun tengah berlangsung perang tarif yang mempengaruhi perdagangan internasional.
Menurut Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara III (PTPN III), Mohammad Abdul Ghani, minyak sawit memiliki daya saing yang tidak terbantahkan dibandingkan minyak nabati lainnya seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari.
“Kalau kita bicara soal minyak nabati secara global, saat ini produksi totalnya mencapai sekitar 228 juta ton, dan minyak sawit (CPO) menyumbang sekitar 34 persen dari total tersebut,” ujar Ghani dalam program Squawk Box di CNBC Indonesia, Jumat (2/5).
Ghani menjelaskan bahwa kelapa sawit memiliki keunggulan komparatif yang sulit disaingi, terutama dari sisi produktivitas dan biaya produksi.
“Kita tahu, mulai dari kedelai, rapeseed, hingga bunga matahari, rata-rata produktivitasnya hanya sekitar 0,5 hingga 0,8 ton per hektare. Sementara sawit jauh lebih tinggi, sehingga biaya produksi kita lebih rendah, jelas dia.
Terkait isu perang tarif, termasuk yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia, Abdul Ghani menilai dampaknya masih terbatas.
" Amerika itu hanya 6 persen dari pasar kita, pasar nasional. Tentu kita masih punya banyak peluang untuk mengalihkan ekspor ke negara lain," kata Ghani.
Meski begitu, dia menyampaikan keyakinannya, AS tetap membutuhkan minyak sawit Indonesia. Terlebih lagi, katanya, sudah ada komunikasi antara utusan pemerintah Indonesia dan pihak Amerika Serikat yang membuka jalan menuju penyelesaian.
“Kita menambah konsumsi, menambah impor kedelai misalkan atau bahan bakar minyak ya, minyak fosil. Tentu itu akan menjadi solusi,” kata Ghani.
Namun demikian, Ghani menegaskan, secara keseluruhan kontribusi Amerika terhadap ekspor sawit Indonesia tergolong kecil. “Sebenarnya bagi kita, karena itu kecil, cuman 6 persen dari total ekspor. Peluang kita di negara lain masih sangat terbuka,” tegas dia
Ghani juga menegaskan, minyak sawit Indonesia masih memiliki banyak peluang. Justru, saat-saat seperti ini merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk memastikan sawit terus berkembang dengan fokus pada isu berkelanjutan.
“Di Eropa Barat, Amerika akan menjadi negara-negara yang memastikan atau mensyaratkan sawit ramah lingkungan. Maka di Indonesia perlu dikembangkan, ditingkatkan isu-isu tentang deforestasi dan sebagainya,” ujar dia.
Ghani juga menambahkan bahwa meskipun ada penurunan harga CPO setelah penerapan tarif, peluang ekspor ke negara-negara ini masih terbuka lebar.
"Memang ada sedikit penurunan harga CPO, mungkin sekitar 50 dolar AS per metrik ton. Tapi 80 persen biaya produksi CPO kita berbasis rupiah, sementara ekspor dalam dolar. Jadi, ketika dolar turun, rupiah juga melemah, dan ini sebenarnya tidak terlalu berdampak pada harga ekspor," jelas dia.
Dia juga mengungkapkan, ke depan, Indonesia harus terus mencari pasar baru dengan penerapan praktik budidaya sawit yang ramah lingkungan. “Kita perlu merambah pasar baru dengan penerapan ramah lingkungan dalam budidaya kita,” tandas dia. ***