Sejumlah Saksi Ungkap Kecacatan Secara Formil dalam Pembentukan UU Konservasi SDA 

R24/zura
Sejumlah Saksi Ungkap Kecacatan Secara Formil dalam Pembentukan UU Konservasi SDA.
Sejumlah Saksi Ungkap Kecacatan Secara Formil dalam Pembentukan UU Konservasi SDA.

RIAU24.COM -Putu Ardana dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Bali menuangkan kekecewaannya terhadap pembahasan Revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) menjadi Undang-undang di sidang uji formil di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (2/5). 

Putu menilai anggota DPR tidak menaruh rasa hormat dalam pembahasan tersebut.

Putu yang merupakan Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan menjadi salah satu perwakilan masyarakat adat yang dilibatkan dalam pembahasan RUU KSDAHE di DPR.

"Setelah sampai di RDP (Rapat Dengar Pendapat), maka dengan sejujurnya harus saya sampaikan di sini saya sangat kecewa. Kekecewaan pertama adalah kami diundang oleh Komisi IV DPR pada saat itu yang hadir di Komisi IV hanya 4 orang," ujar Putu dalam sidang lanjutan perkara nomor: 132/PUU-XXII/2024, Gedung MK, Jumat (2/5).

Putu geram dengan keadaan tersebut. Apalagi dia hanya diberi waktu sebanyak 10 menit untuk memaparkan praktik dan manajemen konservasi di Indonesia.

Di hadapan Hakim Konstitusi ini, Putu menjelaskan pada saat RDP dimaksud dirinya ingin sekali memberi penjelasan mendalam perihal praktik dan manajemen konservasi di Indonesia yang kini sangat tidak bersesuaian dan tidak tepat. 

Dia menjelaskan dalam praktiknya Indonesia menafikkan faktor kultur dalam konservasi. Negara hanya menganggap interaksi antara faktor hayati dan non hayati sebagai ekosistem yang menjadi rujukan konservasi.

"Padahal, kami menganggap faktor terpenting dalam praktik dan manajemen konservasi itu adalah faktor kultur, karena masyarakat adat di Indonesia itu mempunyai interaksi dengan bentang alamnya itu melahirkan kultur yang filosofinya adalah menjaga bentang alam tersebut, karena semua komunitas masyarakat adat tujuannya itu adalah untuk survivalitas membangun kesejahteraan," tutur Putu.

Faktor lainnya yang lebih penting adalah masyarakat adat di Indonesia mempunyai cara yang berbeda dalam melaksanakan praktik konservasi sesuai dengan bentang alamnya.

"Misal di daerah kami disucikan, macam-macam lah kita bisa lihat berbagai praktik konservasi di masyarakat adat Indonesia dan sudah terbukti berhasil menjaga bentang alam yang masih lestari ratusan bahkan ribuan tahun," ujarnya.

Putu bersama sejumlah masyarakat adat Tamblingan sedang berjuang mengembalikan kawasan konservasi menjadi hutan adat yang suci seperti awalnya. 

Kawasan Danau Tamblingan dan Hutan Mertajati bagi masyarakat adat setempat adalah kawasan suci milik mereka sejak seribu tahun lalu. 

Ketika Indonesia Merdeka, wilayah itu diklaim sebagai wilayah konservasi milik pemerintah yang saat ini statusnya turun menjadi Taman Wisata Alam (TWA).

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak