RIAU24.COM -Pada era digital, kebebasan berekspresi kerap berbenturan dengan batasan hukum.
Salah satu sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir adalah pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dinilai kerap digunakan untuk menjerat kritik terhadap pemerintah.
Namun, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Selasa, 29 April 2025, Mahkamah menegaskan bahwa Pasal 27A UU 1/2024 hanya berlaku terhadap individu, bukan lembaga, institusi, atau pemerintah.
Artinya, menghina atau mengkritik pemerintah tidak lagi bisa diproses dengan pasal pencemaran nama baik di UU ITE. Namun demikian, hal ini tidak berarti kebebasan tersebut mutlak.
Kritik kepada pemerintah tetap bisa diproses secara hukum melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku mulai 2026. Berikut penjelasannya.
UU ITE Tidak Berlaku untuk Kritik terhadap Pemerintah
Dalam Putusan MK 105/PUU-XXII/2024, Mahkamah menyatakan bahwa frasa "orang lain" dalam Pasal 27A UU 1/2024 harus ditafsirkan secara terbatas hanya kepada perseorangan.
Sehingga, pencemaran nama baik terhadap lembaga pemerintah, institusi negara, atau jabatan tidak dapat diproses dengan UU ITE.
Dengan demikian, kritik terhadap presiden, kementerian, atau badan negara tidak bisa dikenakan pidana Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) UU ITE, karena delik tersebut kini dipahami hanya melindungi individu secara personal. Hal ini dianggap sebagai langkah maju untuk menjamin kebebasan berpendapat dan menghindari penyalahgunaan hukum untuk membungkam kritik publik.
KUHP Masih Bisa Jadi Celah untuk Jerat Kritik
Kendati UU ITE tidak lagi bisa digunakan, namun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP masih memuat pasal-pasal yang bisa digunakan sebagai celah untuk menjerat kritik terhadap pemerintah. Salah satunya, Pasal 240 di KUHP baru yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara.
Pasal 240 ayat (1) menyebutkan:
"Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina Pemerintah atau Lembaga Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III."
Selain itu, Pasal 241 KUHP juga memperkuat ketentuan ini, dengan menetapkan:
"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV"
Pasal ini menunjukkan bahwa penyebaran materi penghinaan dalam bentuk publikasi visual atau tertulis secara terbuka juga dapat dijerat hukum, meski bukan lagi lewat UU ITE.
Perbedaan Delik Aduan dan Delik Biasa
Penting dicatat bahwa delik penghinaan dalam KUHP merupakan delik aduan. Artinya, proses hukum hanya bisa berjalan jika ada laporan atau pengaduan dari pihak yang merasa dihina, dalam hal ini pemerintah atau lembaga negara yang sah.
Hal ini berbeda dengan delik biasa yang bisa langsung diproses oleh aparat penegak hukum tanpa perlu laporan dari pihak korban. Dalam konteks kritik terhadap pemerintah, perbedaan ini memberi ruang bagi negara untuk bersikap: apakah akan menindak kritik tersebut atau membiarkannya sebagai bagian dari kebebasan berpendapat.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan pemerintah dari objek perlindungan Pasal 27A UU ITE merupakan langkah maju dalam menjamin kebebasan berekspresi. Namun, ancaman kriminalisasi terhadap kritik tetap ada melalui pasal-pasal dalam KUHP yang baru.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap waspada dan memahami batas-batas hukum dalam menyampaikan kritik, sekaligus mendorong penerapan hukum yang adil dan tidak represif.
(***)