RIAU24.COM -Tampil berbicara di podium bersama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Berfoto akrab dengan Wakil Ketua DPR Dasco Ahmad.
Lalu berbagi panggung dengan pejabat tinggi negara dalam acara bertajuk "Jambore Karhutla" di Riau. Semua ini, dalam dunia politik Indonesia yang sarat simbol, tidak pernah dianggap sebagai kebetulan.
Rocky Gerung, filsuf jalanan yang terkenal dengan kritik pedasnya terhadap kekuasaan, mendadak berada di tengah-tengah institusi negara.
Ia berbicara tentang lingkungan hidup, green policing, dan etika hubungan manusia dengan alam. Tapi di tengah suhu politik nasional yang mendidih – pasca kemenangan Prabowo Subianto dan rencana perombakan kabinet besar-besaran – kehadiran Rocky dibaca dengan kacamata berbeda: sinyal bergabungnya oposisi keras ke dalam kekuasaan baru.
"Ini bukan soal politik kekuasaan, ini soal politik etika lingkungan," bantah Rocky dalam wawancara usai acara.
Ia menjelaskan, keterlibatannya murni akademis, berbasis pada program Tumbuh Institute yang ia dirikan.
"Saya diminta melatih kader Polri berpikir ekologis, berpikir bahwa menjaga hutan adalah bagian dari tugas negara menjaga kehidupan."
Tapi sebagaimana hukum politik berjalan: tafsir lebih kuat dari fakta.
Green Policing atau Greenwashing Politik?
Di hadapan ribuan peserta, Rocky membicarakan konsep "hak asasi alam", mengutip pemikiran aktivis lingkungan seperti Robertus Robet dan Vandana Shiva. Ia menyerukan penghijauan nasional berbasis akal sehat dan keadilan ekologis.
Namun, skeptisisme tetap menyeruak. Banyak yang melihat program ini tak lepas dari upaya mempercantik citra negara di tengah krisis legitimasi.
Green policing, dalam kacamata sinis, bisa saja menjadi greenwashing politik: menggunakan isu lingkungan untuk memperhalus wajah kekuasaan yang selama ini diwarnai dengan pembabatan hutan, konsesi tambang, dan eksploitasi sumber daya.
Dan dalam narasi itu, Rocky Gerung – kritikus keras yang terkenal dengan ucapannya "Presiden itu bukan pemimpin, dia hanya petugas partai" – kini tampak sedang mendekat ke orbit kekuasaan yang dulu ia kritik habis-habisan.
Rocky Gerung: Aset atau Ancaman untuk Prabowo?
Bergabungnya Rocky, jika benar terjadi, akan menjadi manuver politik yang penuh risiko untuk Prabowo.
Di satu sisi, Rocky membawa daya tawar besar: basis pemikir kritis, kredibilitas di kalangan aktivis, dan kemampuan memobilisasi diskursus publik.
Ia bisa menjadi jembatan antara rezim Prabowo dengan kelompok oposisi sipil, sekaligus memperkuat legitimasi moral di mata publik yang skeptis.
Di sisi lain, Rocky adalah "senjata bebas" yang sulit dikendalikan. Tidak seperti politisi tradisional, ia tidak segan mengkritik dari dalam. Bahkan, loyalitas Rocky bukan kepada tokoh atau partai, melainkan pada ide besar: akal sehat.
"Kalau saya nanti diberi jabatan, saya tetap akan mengkritik kekuasaan. Jabatan itu hanya alat, bukan tujuan," ujar Rocky suatu ketika dalam diskusi publik di 2023. Kutipan ini masih relevan – dan berbahaya – bagi kekuasaan mana pun yang berniat memeluknya.
Dalam skema politik praktis, Rocky bisa menjadi menteri, penasihat, atau bahkan sekadar think tank informal. Tapi konsekuensinya jelas: Prabowo harus siap menghadapi oposisi dari dalam rumahnya sendiri.
Efek Domino di Peta Politik Nasional
Jika Rocky bergabung, efeknya tidak berhenti di Istana. Konstelasi oposisi akan bergeser. Kelompok kritis seperti akademisi, aktivis mahasiswa, dan LSM, yang selama ini melihat Rocky sebagai ikon perlawanan, bisa terpecah. Sebagian akan merasa dikhianati, sebagian lagi mungkin mengikuti langkahnya ke dalam ruang kompromi baru.
Peta dukungan politik sipil juga berubah. Rezim Prabowo akan lebih sulit dilabeli sebagai "otoriter murni" bila mampu mengintegrasikan tokoh oposisi semacam Rocky. Ini mirip strategi co-optation ala Orde Baru, saat Soeharto mengajak sebagian oposisi masuk sistem untuk meredam resistensi.
Namun perbedaannya, kini publik lebih cerdas, lebih skeptis, dan lebih cepat bereaksi. Kegagalan Rocky menjaga integritas bisa berujung pada kehancuran reputasi yang selama ini ia bangun dengan susah payah.
Politik Akal Sehat: Misi Mustahil di Tengah Kekuasaan
Pertanyaannya, mampukah akal sehat bertahan di jantung kekuasaan?
Dalam berbagai forum, Rocky selalu menekankan bahwa "akal sehat hanya bisa tumbuh dalam tanah yang merdeka."
Pemerintahan adalah tanah subur kekuasaan, bukan tanah merdeka. Birokrasi, kepentingan politik, dan tekanan pragmatis akan menggerus idealisme siapa pun – bahkan seorang Rocky Gerung.
Masuk ke kekuasaan berarti berdiri di tengah badai kompromi. Menjaga akal sehat di tengah sistem yang menuntut kesetiaan politik adalah misi yang hampir mustahil. Dan sejarah Indonesia, dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi, penuh dengan kisah tragis tentang idealisme yang gugur karena kekuasaan.
Rocky mungkin percaya dia bisa tetap kritis dari dalam. Tapi pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai ketika ia betul-betul berada di dalam sistem.
(***)