RIAU24.COM - Jakarta tengah diliputi kabut tebal politik yang makin pekat. Ketegangan yang semula samar kini mulai tercium tajam: dua kekuatan besar—dua matahari—berada dalam satu langit republik.
Sebuah istilah yang menggelegar dari mulut Susilo Bambang Yudhoyono kini menjadi lensa baru untuk membaca konstelasi kuasa nasional: Jokowi dan Prabowo, keduanya terang, keduanya menyala—dan keduanya ingin menguasai orbitnya sendiri.
Mantan Presiden SBY bukan sekadar menggugah opini ketika menyebut "dua matahari" dalam politik Indonesia.
Ia menandai apa yang selama ini hanya dibisikkan di ruang-ruang elit: bahwa pemerintahan Prabowo tidak berdiri sendiri.
Ada bayang-bayang besar yang masih menekan dari belakang: Jokowi, sang presiden dua periode, yang tampaknya belum selesai dengan ambisinya, atau barangkali belum rela turun dari panggung.
Gerakan masif ke Solo—oleh menteri, polisi, hingga pejabat negara—memberi sinyal kuat. Mereka tak sekadar menyampaikan salam, melainkan menunjukkan loyalitas.
Narasi seperti ini menguatkan kesan bahwa ada semacam pemerintahan paralel yang tidak resmi namun nyata. Konsolidasi yang dilakukan secara terbuka di kandang kekuasaan Jokowi, ditambah peran intens Gibran di ruang digital, memperkuat dugaan bahwa Jokowi sedang menyiapkan kelanjutan dinasti politiknya.
Rocky Gerung menilai, “Blok Jokowi atau blok Mulonois ini memang mengkonsolidasi diri,” ujarnya, merujuk pada gerakan politik yang mengorbit di sekitar eks-presiden tersebut.
Dalam konteks ini, Gibran tak hanya dilihat sebagai wakil presiden, tapi sebagai ‘calon presiden darurat’ jika terjadi sesuatu. Di balik konstitusionalitas, publik menangkap geliat kekhawatiran: seolah-olah skenario suksesi sedang disiapkan dalam senyap.
Namun Jokowi tengah berada dalam pusaran tekanan yang lain: soal ijazah. Isu yang dulu dianggap remeh kini kembali menjadi bola panas yang dilempar oleh masyarakat sipil ke tengah arena.
Bukan tanpa sebab. Selama tiga tahun, publik menuntut klarifikasi, tapi Jokowi memilih diam. Ketika akhirnya ia bicara, yang muncul adalah ancaman balik lewat jalur hukum.
“Ini bukan sekadar isu hukum, ini soal moral,” tegas Rocky Gerung melansir kanal YouTube @RockyGerungOfficial, Kamis (24/4/2025).
“Jika benar ijazah itu asli, mengapa harus disembunyikan? Jika palsu, mengapa tetap diam? Ini seperti mem-prank warga negara.”
Titik tekan bukan pada dokumen itu sendiri, melainkan pada sikap: mengapa seorang pemimpin enggan menunjukkan itikad baik kepada rakyatnya?
Krisis kepercayaan itu kini menjadi bahan bakar tambahan di dalam tabung ketegangan dua matahari. Diamnya Prabowo soal ijazah Jokowi menimbulkan tafsir ganda.
Apakah ia memilih netral karena menghormati Jokowi, atau justru membiarkan masyarakat sipil menjadi ujung tombak dalam “operasi pembusukan moral” terhadap sang pendahulu?
“Ini bukan hanya tentang Jokowi dan ijazah,” kata Rocky, “tapi tentang bagaimana Prabowo mengelola batas antara kesetiaan personal dan jarak politik.”
Persaingan itu tidak diucapkan, namun nyata. Seperti dua kutub dalam satu dinamo, energi politik justru muncul dari tarik-menarik diam-diam antara keduanya.
Lebih dalam lagi, perbedaan paradigma keduanya makin kentara. Jokowi, dengan pendekatan ekonomi yang pragmatis dan pro-oligarki, berlawanan arah dengan Prabowo yang mengusung semangat populisme dan kerakyatan. Salah satu indikator penting: penghapusan sistem kuota yang selama ini menjadi lahan subur bagi oligarki.
“Prabowo hendak membasmi budaya jual beli izin,” ujar Rocky.
Sebuah agenda yang secara langsung menusuk jantung dari sistem Jokowi.
Isu lain yang tak kalah fundamental adalah soal Ibu Kota Negara. Pemerintahan Prabowo tampaknya mulai menarik rem tangan dalam proyek ambisius IKN. Penundaan pemindahan ASN ke Kalimantan diartikan banyak pihak sebagai sinyal bahwa proyek tersebut tak akan dilanjutkan.
“Secara topografi kekuasaan, jalan Prabowo tak lagi searah dengan Jokowi,” kata Rocky.
Namun semua perbedaan itu belum terucap terang. Demi stabilitas, demi sopan santun politik, Prabowo masih menjaga harmoni di permukaan. Tapi dalam politik, sinyal adalah segalanya. Reshuffle kabinet yang akan datang diprediksi menjadi ajang pertama di mana Prabowo menunjukkan siapa yang sebenarnya memegang kendali.
“Reshuffle adalah panggung dejokowisasi,” tegas Rocky. Bukan semata pembersihan, tapi reposisi ideologis: dari pragmatisme menuju sosialisme nasionalis ala Prabowo.
Apa pun bentuknya, situasi ini sudah bukan lagi sekadar transisi kekuasaan. Ini kontestasi antara dua legitimasi. Jokowi dengan basis loyalitas emosional dan dinasti politik, Prabowo dengan ambisi membentuk narasi otentik sebagai pemimpin yang benar-benar berkuasa.
Di langit politik Indonesia, dua matahari memang sedang menyala. Tapi dalam hukum fisika dan politik yang sama: hanya satu yang akan tetap bersinar. Sisanya? Akan tenggelam dalam bayangan sejarah.
(zar)