Jokowi Gugat Tukang Fitnah, Rakyat Curiga: Rocky Gerung Siap Jadi Saksi Ahli!

R24/zura
Jokowi Gugat, Rakyat Curiga: Rocky Gerung Siap Jadi Saksi Ahli!
Jokowi Gugat, Rakyat Curiga: Rocky Gerung Siap Jadi Saksi Ahli!

RIAU24.COM - Mantan Presiden Joko Widodo mengumumkan niat menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang terus mempertanyakan keaslian ijazahnya. 

Alih-alih menutup bab, langkah ini justru membuka lembar baru: perdebatan akademik dan etis tentang batas antara rahasia pribadi dan kewajiban publik seorang pejabat negara. Di ruang ini, suara Rocky Gerung menjadi gema utama yang tak bisa diabaikan.

Rocky memulai dengan satu anggapan filosofis yang kuat: jika Presiden Jokowi benar-benar melaporkan kritik soal ijazah sebagai fitnah, maka ia sedang "masuk ke dalam jebakan".

Jebakan seperti apa? “Jebakan intelektualitas,” kata Rocky—sebuah ruang pengujian bagi kecakapan berpikir negara, bukan hanya keabsahan hukum semata.

“Justru karena ada kecurigaan, ya kembalikan aja. Untuk prosedur 2 menit, Jokowi sekarang sebagai orang biasa mengatakan, ‘ini loh, silakan bawa semua mikroskop dan seluruh peralatan kimia untuk menguji apakah secara forensik ijazah saya palsu atau tidak’,” ujar Rocky.

Pernyataan itu bukan sekadar kritik prosedural. Ini adalah panggilan etik. Dalam negara yang mengaku demokratis, setiap alat legitimasi kekuasaan—termasuk ijazah—adalah milik publik. Rocky menolak menjadikan dokumen tersebut sekadar ‘barang bukti administratif’. Baginya, ini soal martabat seorang kepala negara.

“Martabat Presiden Jokowi itu dipertaruhkan di sini. Bukan sekadar benda—ijazah sebagai kertas. Tapi sebagai penanda legitimasi publik,” ungkapnya.

Rocky lalu memisahkan dua wilayah yang kerap kabur dalam politik Indonesia: privat dan publik. Dalam kerangka republikanisme, ia menegaskan: seorang raja boleh merahasiakan tubuhnya, tapi seorang presiden tidak.

“Tubuh privat Presiden Jokowi tidak terkait dengan ijazahnya. Karena ijazah itu dipakai untuk keperluan administratif pencalonan pejabat publik,” tegasnya.

Dalam doktrin republik, jabatan publik berarti segala sesuatu yang mengantarkan seseorang ke kursi kekuasaan harus terbuka—bukan semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahu rakyat, tapi karena hal itu adalah konsekuensi dari kontrak sosial.

Rocky melangkah lebih jauh: ia menyebut, jika Presiden Jokowi memperlihatkan ijazah kepada wartawan tapi melarangnya difoto, justru itu menambah kecurigaan. Mengapa? Karena sebuah dokumen publik—yang pernah diserahkan ke KPU—seharusnya bisa diperiksa secara forensik oleh siapa saja yang kompeten. 

“Kalau dia betul-betul otentik, difoto dengan kamera jadul pun akan dianggap otentik. Karena dipersilakan oleh Pak Jokowi untuk didokumentasikan,” sindir Rocky.

Puncak dari pernyataan Rocky terletak pada analisisnya terhadap niat Presiden membawa perkara ini ke jalur hukum. Ia memperingatkan: jangan sampai ini dikonstruksi sebagai fitnah. Sebab, ini bukan soal kriminalitas antar individu, melainkan "moral call"—panggilan etik dari warga negara kepada kepala negaranya.

“Fitnah itu antar manusia. Ini bukan itu. Ini soal administrasi bernegara,” katanya. “Antara warga negara dan kepala negara, tidak ada delik fitnah.”

Rocky menegaskan bahwa kecurigaan publik atas keaslian ijazah adalah bagian dari hak untuk tahu (right to know) dalam demokrasi. Jika ini dibawa ke ranah pidana, deliknya akan kacau. 

Maka ia menyindir: “Saya mau jadi saksi ahli untuk menerangkan bahwa tidak ada fitnah antara warga negara dan kepala negara.”

Rocky juga tidak menutup mata terhadap kondisi sistem peradilan Indonesia yang tengah berada dalam krisis kepercayaan. “Banyak hakim ditangkap karena suap,” katanya. 

Karena itu, jika perkara ini betul-betul masuk ke pengadilan, maka dunia akan menyaksikan duel argumentasi intelektual yang belum tentu menguntungkan Jokowi.

“Lawyernya Pak Jokowi akan masuk jebakan intelektual. Hakim bisa bertanya: ini warga negara versus kepala negara, di mana letak pidananya?”

Konsekuensinya berat. Karena jika gugatan ini ditangani dengan pendekatan kriminal, maka preseden buruk akan tercipta. Kritik publik kepada pejabat akan dengan mudah dibungkam lewat pasal karet. Di sinilah bahaya besar mengintai: hilangnya ruang legitimasi dalam republik.

Di akhir analisanya, Rocky mengembalikan wacana ke pangkal moralitas demokrasi. Ini bukan soal legalitas semata—bahwa Jokowi pernah menyerahkan ijazah ke KPU. Ini soal kejujuran substantif. Sebab kepercayaan publik tidak dibangun lewat lembaran arsip, melainkan keterbukaan.

“Yang ditagih adalah legitimasi, bukan sekadar legalitas. Jadi kalau orang mencurigai, artinya ada proses yang mungkin tidak ditempuh secara benar,” ucapnya.

Bila Presiden ingin mengakhiri kontroversi ini, kata Rocky, maka yang dibutuhkan bukan gugatan hukum, melainkan satu tindakan simbolik: mengundang publik menguji ijazah itu secara ilmiah, dan bersaksi sendiri di hadapan rakyatnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak