RIAU24.COM - Pelecehan seksual yang dilakukan seorang dokter residen dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad), Priguna Anugerah P (PAP) menjadi perhatian publik.
Dokter muda tersebut nekat memerkosa pendamping pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Dirreskrimum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan mengatakan, dari hasil pemeriksaan sementara, dokter yang telah berstatus tersangka tersebut diduga memiliki kelainan seksual.
"Pelaku diketahui memiliki fetish terhadap orang yang tak sadarkan diri. Fantasinya senang (lihat) yang pingsan saja," kata Surawan, Kamis (10/5/2025).
Hingga berita ini ditulis, Jumat, 11 April 2025, pemeriksaan terhadap Priguna masih terus dilakukan. Untuk pendalaman lebih lanjut., pihak kepolisian juga akan melibatkan ahli psikologi dan forensik guna memperkuat dugaan adanya penyimpangan seksual pada diri pelaku.
Belajar dari kasus Priguna Anugerah P, bisakah seseorang yang mengalami kelainan seksual bisa bisa dikenali dari tanda-tandanya?
Psikiater dr Lahargo Kembaren, SpKJ, mengatakan kelainan perilaku seksual tidak bisa langsung dikenali hanya dari tampilan luar atau diagnosa instan.
dr Lahargo mengatakan, yang bisa diamati adalah perilaku seksual seseorang, karena seksualitas itu sendiri biasanya tercermin melalui tindakan atau aktivitas seksual yang dilakukan.
dr Lahargo mengatakan perilaku seksual bisa mencakup berbagai hal, mulai dari konsumsi konten pornografi, masturbasi, fetisisme, ekshibisionisme, hingga hubungan seksual yang dilakukan secara sukarela maupun melalui paksaan atau cara-cara yang membuat orang lain tidak berdaya. Semua aktivitas tersebut merupakan bagian dari perilaku seksual yang dapat diamati secara nyata.
"Dan umumnya, orang melakukan perilaku seksual yang berulang-ulang, memang punya masalah dengan kesehatan mentalnya. Ada stres, ada anxious, ada mungkin problematika dalam kehidupan sosial, relasi dengan istri, keluarga, suami, ataupun masalah di tempat kerja, pendidikan, akademi," kata dr Lahargo, Kamis (10/4/2025).
Sering kali, lanjutnya, perilaku seksual seperti itu digunakan sebagai bentuk pelarian atau coping mechanism untuk mengatasi tekanan batin atau masalah emosional yang tidak terselesaikan.
Sayangnya, cara yang dilakukan dokter residen tersebut termasuk bentuk penanganan yang negatif karena menimbulkan dampak buruk, bukan hanya bagi pelaku, tapi juga bagi orang lain, institusi tempatnya bekerja, bahkan kepercayaan publik secara umum. Hal ini, menurutnya, dapat merusak reputasi profesi dan memperdalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis. ***