RIAU24.COM -Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto baru berjalan satu tahun, namun bayang-bayang persoalan warisan masa lalu mulai mengusik stabilitas politik dan ekonomi.
Ada tiga isu yang (dianggap) tak kunjung selesai, mulai dari polemik ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, vonis pidana Silfester Matutina yang belum dieksekusi, hingga utang jumbo proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Ketiga isu di atas kerap menjadi sorotan publik dan hampir selalu menghiasi ruang-ruang perdebatan di televisi maupun kanal-kanal Youtube.
Ketiganya memiliki benang merah: keterkaitan dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Gibran adalah putra Jokowi, Silfester dikenal sebagai relawan pendukung Jokowi, dan proyek KCIC merupakan inisiatif infrastruktur era Jokowi yang kini menyisakan utang Rp116 triliun.
Analis politik Hendri Satrio menyebut ketiga isu itu sebagai “hantu” yang membayangi pemerintahan Prabowo.
Hendri menjelaskan bahwa istilah “hantu” merujuk pada masalah yang tidak kasat mata namun berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan jika tidak segera dituntaskan.
“Kenapa hantu? Karena ini hal yang enggak jelas tapi bisa mengganggu. Mengganggu kalau tidak segera dibereskan,” ujar Hendri di kaal Youtubenya, Selasa, 28 Oktober 2025.
Hendri Satrio dikenal sebagai pengamat politik dari Universitas Paramadina dan pendiri lembaga survei KedaiKOPI.
Ia kerap mengulas dinamika kekuasaan dan komunikasi politik elite nasional.
Dalam pandangannya, ketiga isu tersebut bukan sekadar polemik teknis, melainkan ujian awal bagi Prabowo untuk menunjukkan arah kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan di tengah tekanan warisan politik pendahulunya.
Menurut Hendri , isu soal permasalahan ijazah Gibran harus dijawab secara terang benderang langsung oleh Gibran.
Berbeda dari isu permasalahan ijazah yang juga menerpa ayahnya, Jokowi, Gibran kini masih menjadi pejabat publik.
Maka, keraguan atas status pendidikan orang nomor dua di Indonesia itu harus dijelaskan.
Seperti diketahui, saat ini, Gibran digugat secara perdata oleh seorang warga bernama Subhan Palal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Penggugat mempersoalkan keabsahan riwayat pendidikan Gibran, khususnya ijazah SMA/setara, serta menuding adanya perubahan data riwayat pendidikan di situs KPU. Sampai saat ini proses hukumnya masih berlangsung.
"Tentang ijazah Jokowi itu bisa menunggu nanti selesai polemiknya lewat pengadilan atau apalah gitu. Karena Pak Jokowinya sudah tidak lagi menjabat. Nah, yang menurut saya perlu segera diselesaikan itu justru polemik ijazahnya Mas Gibran sebagai wakil presiden. Kenapa? Karena dia masih menjabat dan sedang menjabat."
"Jadi kalau Mas Gibran menurut saya ada keharusan untuk dia tampil ke publik menjelaskan, oh iya saya selesai di, kita enggak usah ngomong universitas tapi bicara tentang SMA aja. Oh iya saya selesai di SMA sekian sekian sekian, tahun berapa tahun berapa tahun berapa gitu."
"Kenapa saya nyebutnya tahun berapa tahun berapa tahun berapa karena kan ada kabarnya dia sekolah di Australia, ada kabarnya dia sekolah di Singapura. Nah, maksud saya diclearkan aja dan dia harus tampil tuh untuk menyelesaikan polemik ini," papar Hendri.
Kasus Silfester
Menurut Hendri, hantu pemerintahan Prabowo yang kedua adalah Silfester Matutina.
Seperti diketahui, Silfester, yang dikenal sebagai relawan Jokowi itu, sudah divonis 1,5 tahun penjara pada kasus fitnah terhadap Wapres ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK) pada 2019, namun hingga kini belum ditahan.
Kasusnya bermula pada 2017, Silfester berorasi menuding JK sebagai pemecah belah bangsa dengan ambisi politiknya. Silfester juga menyebut JK korupsi hingga mengakibatkan masyarakat miskin.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 287 K/Pid/2019 untuk Silfester dibacakan tanggal 20 Mei 2019 oleh Hakim Ketua H Andi Abu Ayyub Saleh, Hakim Anggota H Eddy Army dan Gazalba Saleh. Dalam Putusan MA ini disebutkan bahwa Silfester dikenakan dakwaan pertama Pasal 311 Ayat 1 KUHP dan dakwaan kedua Pasal 310 Ayat 1 KUHP.
Pembiaran terhadap Silfester yang tidak kunjung dieksekusi hukumannya, menjadi gambaran buruknya wajah hukum di bawah pemerintahan Prabowo.
"Karena banyak sekali yang beranggapan bahwa penegakan hukum di era Pak Prabowo ini tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya karena Silfester," ujar Hendri.
Bahkan, Hendri melihat prestasi Kejaksaan yang sukses mengembalikan kerugian negara sebesar sekitar Rp 13,25 triliun dari kasus korupsi Crude Palm Oil (CPO) tertutupi kasus Silfester yang belum dieksekusi.
"Dengan hadirnya uang triliunan itu harusnya luar biasa dampaknya. Tapi ternyata banyak juga masyarakat yang bertanya, 'Loh, tapi kenapa kemudian Silverster tidak eh dieksekusi juga?' Nah, menurut saya ini harus diperjelas Silferster ini. Apakah Bang Silferster memang sudah selesai ya, tidak perlu lagi diungkit-ungkit hukumnya atau memang harus dieksekusi," papar Hendri.
Utang KA Cepat Whoosh
Seperti diketahui, proyek ambisius Whoosh benar-benar digarap pada pemerintahan Jokowi.
Melalui cap proyek strategis nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun 2016, proyek yang didanai sebagian besar menggunakan utang dari China Developement Bank (CDB) itu dikebut.
Ayah Wapres Gibran Rakabuming Raka itu juga yang meletakkan batu pertama pada Januari 2016, dan meresmikannya pada 2 Oktober 2023.
Sampai pertengahan 2025, jumlah penumpang Whoosh sebanyak 16 ribu sampai 18 ribu orang per hari pada hari kerja, dan 18 ribu sampai 22 ribu per hari pada akhir pekan.
Angka tersebut belum menyentuh target 31 ribu penumpang per hari yang dicanangkan sejak awal.
Proyek KCIC mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.
Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.
Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.
(***)