RIAU24.COM - Ratusan massa dari keluarga besar H. Masrul menggelar aksi damai di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Pekanbaru pada Rabu pagi, (8/10/ 2025) pagi. Aksi yang diikuti sekitar 300 orang ini digelar untuk menuntut keadilan atas sengketa lahan yang diduga melibatkan gratifikasi dan mafia pertanahan.
Perwakilan keluarga, Hendra Zainal, mengatakan aksi ini sebagai bentuk perlawanan terhadap mafia hukum yang menyulitkan proses administrasi pertanahan di Pekanbaru.
“Kami sebagai pelopor anti mafia hukum di Pekanbaru ingin melawan ketidakadilan. Jika tidak ada tindakan, kami akan gelar aksi jilid dua dengan massa lebih banyak,” ujar Hendra kepada awak media, Selasa (7/10/ 2025).
Tuntut Pemeriksaan Eks Kepala BPN dan Dua Pejabat Lain
Dalam orasinya besok, Hendra meminta dan mendesak agar mantan Kepala BPN Pekanbaru, Doni, bersama dua anak buahnya diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka diduga menerima gratifikasi dari PT HM Sampoerna terkait kepemilikan lahan yang masih dalam sengketa dengan H. Masrul.
Kuasa hukum H. Masrul, Tumpal Hamonangan Lumban Tobing, mengungkapkan bahwa pihaknya juga telah melaporkan dugaan gratifikasi dan pelanggaran etik hakim ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA), serta membuat laporan resmi ke KPK dan Kejaksaan Agung.
“Kami menduga ada permainan dalam proses hukum, khususnya pada putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung yang kami nilai cacat formil,” kata Tumpal.
Kronologi Sengketa Lahan
Hendra menjelaskan, sengketa ini bermula dari lahan yang awalnya dimiliki oleh seorang warga bernama Tobari. Yang telah menggarap lahan tersebut sejak 1963 dan mendaftarkannya ulang pada 1973 pihak agraria zaman bupati Kampar pertama. Namun, dalam perjalanannya, lahan itu sempat terbengkalai karena Tobari tersandung masalah hukum.
Lahan kemudian digunakan oleh narapidana dari Lapas setempat atas inisiatif kepala lapas saat itu. Ketua napi yang terlibat bekerja sama dengan aparat lokal menerbitkan surat-surat lahan yang kemudian berujung pada munculnya surat hibah yang diduga palsu.
Surat hibah tersebut kemudian digunakan oleh pihak ketiga untuk menjual lahan kepada PT HM Sampoerna, Mega Asri, dan Rumah Sakit Mata. Padahal, keluarga H. Masrul mengklaim telah membeli lahan itu secara sah dari Tobari pada 1999 dan 2001 dengan akta jual beli resmi.
Proses Hukum: Menang di PTUN Medan, Kalah di PK MA
Kuasa hukum menjelaskan bahwa pihak H. Masrul telah menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru, namun gugatan ditolak di tingkat pertama. Kemudian mereka mengajukan banding ke PTUN Medan dan menang. Putusan tersebut membatalkan seluruh Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT HM Sampoerna.
Namun, proses eksekusi putusan itu terhambat karena BPN Pekanbaru mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Padahal, menurut pasal 132 ayat 1 UU Peradilan TUN yang telah diubah oleh Mahkamah Konstitusi pada 2024, pejabat TUN tidak berhak mengajukan PK-hanya badan hukum perdata atau perorangan yang berhak.
“Kami menilai pengajuan PK oleh Kepala BPN Pekanbaru itu cacat formil dan seharusnya tidak diterima sejak awal,” jelas Tumpal.
MA kemudian mengabulkan PK dan membatalkan putusan sebelumnya yang sudah berkekuatan hukum tetap. Pihak keluarga dan kuasa hukum menilai keputusan ini tidak sah dan sarat kejanggalan.
Langkah Hukum dan Harapan
Tim kuasa hukum telah melaporkan dugaan suap dan pelanggaran kode etik kepada, Komisi Yudisial dan Pengawas MA pada 22 September 2025, KPK pada 24 September 2025, Kejaksaan Agung melalui layanan informasi hukum.
Kemudian, audiensi dengan Komisi II DPR RI dengan menghadirkan Kanwil BPN Riau, dan Kepala BPN yang baru tapi tidak ada hasil. Oleh karena itu, mereka berharap Komisi III DPR RI dapat memanggil Mahkamah Agung untuk menjelaskan dasar hukum PK tersebut.
Tuntutan Aksi Damai
Dalam aksi besok itu, massa menyampaikan beberapa tuntutan:
1. Pembatalan SK HGB PT HM Sampoerna karena putusan PK dianggap cacat formil.
2. Bersih-bersih birokrasi di BPN Pekanbaru dari mafia tanah dan gratifikasi.
3. Pemeriksaan terhadap mantan Kepala BPN Pekanbaru, Doni, serta pejabat lainnya oleh KPK.
“Semua ini sudah kami sampaikan juga ke Presiden. Harapan kami, Mahkamah Agung membatalkan putusan PK tersebut karena hanya MA yang punya kewenangan,” pungkas Tumpal.