RIAU24.COM -Massa dari Gerakan Lintas Aliansi Adili Koruptor (Gladiator) menggelar aksi Tangkap dan Adili Jokowi di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Aksi tersebut digelar menuntut KPK untuk segera memeriksa mantan Presiden, Joko Widodo dan keluarganya dalam kasus dugaan korupsi.
Mereka membawa spanduk dan poster dengan tuntutan agar KPK bekerja secara profesional dan transparan dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara khusunya keluarga Jokowi.
Massa juga mengecam mengenai permasalah tentang dugaan ijazah palsu milik Jokowi dan Gibran dan adanya upaya pelemahan KPK yang menghambat proses penegakan hukum.
Sejumlah tokoh yang hadir pada unjuk rasa ini, di antaranya mantan Wakil Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara.
Selanjutnya, Kolonel (Purn) Sugeng Waras, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo, politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Beathor Suryadi, dan Irjen (Purn) Napoleon Bonaparte.
Aksi massa geruduk KPK ini ikut disoroti oleh Pengamat Politik Rocky Gerung. Dalam kanal YouTube pribadi miliknya @RockyGerungOfficial_2024.
Rocky menilai, tekanan politik semacam ini tidak akan surut selama Jokowi dan keluarganya masih terlibat dalam percaturan politik nasional. Menurut dia, isu hukum dan politik terkait Jokowi akan menjadi bagian permanen dalam dinamika demokrasi Indonesia.
“Selama Jokowi dan keluarganya masih aktif dalam politik, baik melalui posisi Gibran sebagai wakil presiden maupun lewat cawe-cawe politik yang ia lakukan, tekanan publik tidak akan berhenti. Bahkan isu ini bisa bertahan sampai tahun 2029,” kata Rocky dalam perbincangan dengan Hersubeno Jurnalis Senior.
Rocky menilai aksi massa yang berlangsung tanpa kekerasan adalah bentuk ekspresi demokrasi yang sah. Menurutnya, demonstrasi bukan sekadar kebebasan berpendapat, melainkan juga wujud peradaban politik ketika dijalankan dengan damai.
“Jangan buru-buru menuduh mereka perusuh. Justru selama demonstrasi dilakukan tanpa kerusuhan, itu adalah ekspresi politik yang sehat. Demokrasi artinya bukan hanya hak berbicara, tetapi juga hak menyampaikan pendapat berbeda, bahkan yang bertentangan dengan kekuasaan,” ujarnya.
Ia menambahkan, selama persoalan hukum yang dituntut publik tidak ditangani secara jelas, isu tersebut akan terus menjadi bahan perbincangan, baik di ruang kampus, kafe, maupun percakapan masyarakat sehari-hari.
Pertemuan Jokowi dan Abu Bakar Ba’asyir
Situasi politik semakin ramai diperbincangkan setelah muncul kabar pertemuan Jokowi dengan Abu Bakar Ba’asyir, tokoh Islam yang pernah terlibat kontroversi. Rocky menilai, pertemuan ini menimbulkan tafsir ganda di kalangan masyarakat.
“Publik bisa menafsirkannya sebagai langkah rekonsiliasi antara Jokowi dengan kelompok Islam yang selama ini berseberangan, atau hanya sekadar pencitraan untuk mendapatkan perlindungan kultural. Bagaimanapun, ideologi politik Islam tidak bisa dihapus, ia akan selalu hadir dalam percakapan publik,” kata Rocky.
Ia menegaskan, meskipun Ba’asyir bukan bagian dari partai politik Islam, sosoknya tetap memiliki bobot simbolik. Pertemuan dengan Jokowi karenanya mengandung makna politik yang tidak sederhana.
Rocky juga menyinggung perubahan susunan kabinet pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sejumlah figur yang selama ini dianggap dekat dengan Jokowi kehilangan posisi strategis, seperti Kepala BIN Budi Gunawan yang dikenal sebagai figur dekat dengan Megawati Soekarnoputri, serta Erick Thohir yang digeser dari kursi Menteri BUMN.
“Perubahan-perubahan ini tidak bisa hanya dibaca sebagai langkah teknis. Ada transaksi politik, ada diplomasi kekuasaan. Hilangnya nama Budi Gunawan, misalnya, bisa ditafsirkan sebagai upaya Jokowi menjaga relasi dengan Prabowo,” ujar Rocky.
Menurutnya, dinamika tersebut memperlihatkan adanya tarik-menarik antara Jokowi, Prabowo, dan Megawati dalam menentukan arah pemerintahan. Relasi antar-elite, kata dia, kini bukan sekadar urusan personal, tetapi perebutan kekuasaan yang lebih luas.
Di luar poros kekuasaan para elite, Rocky melihat masyarakat sipil kini semakin memainkan peran penting dalam politik nasional. Gerakan mahasiswa, aksi unjuk rasa, hingga perdebatan di media sosial telah menjadi kekuatan baru dalam membentuk opini publik.
“Netizen hari ini bisa lebih bermutu daripada suara parlemen. Aspirasi publik, terutama soal ijazah Jokowi dan Gibran, tidak bisa dihapus begitu saja. Selama isu itu belum mendapat jawaban hukum, ia akan tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat,” kata Rocky.
Ia menegaskan, dua isu utama—dugaan ijazah palsu dan cawe-cawe politik Jokowi—akan menjadi sumber kegelisahan yang terus berulang di ruang publik.
“Isu lain bisa saja tenggelam, tetapi dua isu ini akan terus muncul kembali dalam demonstrasi publik,” tambahnya.
Rocky menutup analisisnya dengan penekanan pada pentingnya menjaga demokrasi dari potensi kekerasan. Menurutnya, dinamika politik Indonesia boleh saja berlangsung keras, tetapi tetap harus dijalankan dalam koridor konstitusi.
“Yang penting adalah menjaga agar amarah publik tidak berubah menjadi kerusuhan. Demokrasi harus dijalankan dengan peradaban, dengan argumentasi, bukan dengan brutalisme di jalanan,” tegasnya.
Desakan agar Jokowi diusut pasca kekuasaan mencerminkan meningkatnya tuntutan publik terhadap akuntabilitas politik. Namun, di balik isu tersebut, terdapat dinamika yang lebih luas: persaingan antar-elite, strategi perebutan posisi dalam kabinet, serta bangkitnya masyarakat sipil sebagai aktor politik baru.
Bagi Rocky Gerung, fase ini adalah ujian penting bagi demokrasi Indonesia.
“Kita sedang berada dalam purgatorio politik—sebuah masa penyucian, agar demokrasi betul-betul bersih dari praktik yang merusak,” katanya.
(***)