RIAU24.COM -Filsuf publik Rocky Gerung kembali menjadi sorotan setelah melontarkan kritik tajam di hadapan puluhan jenderal Polri dalam sebuah forum diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu.
Dengan gaya retoris yang khas—menggabungkan humor, sindiran, dan analisis filosofis—Rocky menyentil soal reformasi kepolisian, supremasi nilai sipil, hingga isu-isu politik aktual yang tengah menggelisahkan publik.
“Kenapa mimbar ini tidak dipakai? Dalam tradisi Yunani, mimbar adalah alat pertama untuk menyatakan pendapat umum. Pendapat baru disebut pendapat jika menentang pendapat lain. Kalau hanya sependapat, itu doa,” ujar Rocky, membuka pidatonya dalam Forum POlri yang dikutip lewat akun YouTube @RockyGerungOfficial_2024, Kamis (2/11/2025).
Ucapan itu disambut tepuk tangan dan tawa kecil dari audiens. Namun, bagi Rocky, kalimat itu bukan sekadar guyonan. Ia hendak menekankan bahwa demokrasi hanya bisa tumbuh jika ada ruang untuk perbedaan dan pertentangan argumen.
Reformasi yang Mandek
Rocky kemudian menyinggung topik besar: reformasi Polri pasca-1998. Menurut dia, apa yang terjadi selama dua dekade lebih hanyalah pemisahan kelembagaan dari TNI, tanpa diikuti perubahan nilai yang mendasar.
“Terjadi reformasi kelembagaan, bukan transformasi nilai. Nilai-nilai militeristik tetap terbawa. Kita baru keluar dari Orde Baru, tapi belum sungguh masuk ke era demokrasi,” tegas Rocky.
Bagi Rocky, demokrasi membutuhkan pondasi nilai sipil yang lebih kuat. Ia mencontohkan, di negara demokratis, aturan berlaku universal tanpa pandang bulu.
“Lampu merah artinya semua—tentara, polisi, profesor—harus berhenti. Itu nilai sipil. Demokrasi berdiri di atas nilai, bukan pangkat atau seragam,” ujarnya.
Menurutnya, selama nilai sipil tidak menjadi rujukan utama, Polri akan terus menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat.
Selain menyoroti kelembagaan, Rocky juga menyentil sejumlah isu politik yang ramai diperbincangkan publik, mulai dari “parcok”, “Fufu Fafa”, hingga dugaan ijazah palsu.
“Di belakang kepala rakyat ada hal-hal yang tak terucapkan, isu yang unexplainable. Publik menunggu kepastian, tapi yang muncul hanya kecurigaan. Ini melahirkan kebimbangan, rasa curiga, dan ketidakpercayaan,” katanya.
Ia menilai, isu-isu yang tak kunjung tuntas ini membentuk psikologi kolektif baru di masyarakat: mudah marah, curiga, dan kehilangan orientasi. Ketidakpastian politik ditambah dengan tekanan ekonomi membuat publik mencari pihak yang dianggap bertanggung jawab.
“Dan sering kali, polisi yang jadi sasaran, karena mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat sehari-hari,” ucapnya.
Meski tajam, Rocky juga memberi apresiasi pada langkah-langkah positif aparat di lapangan. Ia mengisahkan pengalamannya di Pekanbaru, Riau, saat demonstrasi mahasiswa besar-besaran berlangsung Agustus lalu.
Alih-alih menggunakan water canon atau tindakan represif, Kapolda Riau saat itu justru memasang spanduk bertuliskan “Selamat Datang Para Pejuang Aspirasi”.
“Tidak ada intimidasi. Dengan begitu, polisi langsung memisahkan antara pejuang aspirasi dan provokator. Yang benar-benar berjuang diterima, yang ingin merusak terisolasi. Itu model polisi yang berpijak pada nilai sipil,” kata Rocky.
Rocky juga menanggapi anggapan bahwa dirinya “dibeli” polisi karena kerap tampil bersama Kapolri. Dengan satire khasnya, ia balik berujar: “Bukan saya yang terbeli, tapi Kapolri yang terkooptasi oleh isu lingkungan yang saya gagas: green policing. Lebih banyak orang mati karena kerusakan lingkungan daripada di jalan raya.”
Ucapan itu kembali memancing tawa audiens, sekaligus mempertegas kritiknya tentang pentingnya arah baru dalam peran Polri di tengah isu global seperti krisis lingkungan.
Dari Reformasi ke Transvaluasi
Rocky tak berhenti pada kritik institusional. Ia memperluas wacananya dengan menyebut perlunya transvaluasi nilai, meminjam istilah filsuf Jerman Friedrich Nietzsche.
“Setelah reformasi, kita terlambat bicara transformasi. Dan kini, di era global yang penuh turbulensi, kita justru ditantang melakukan transvaluasi: meninjau ulang semua nilai. Supremasi sipil, demokrasi, bahkan cara kita berargumen, semuanya harus diperbaharui,” ucapnya.
Ia menyebut, perubahan nilai ini penting agar Polri tidak hanya menjalankan fungsi administratif, melainkan ikut membangun fondasi demokrasi.
Rocky kembali menggarisbawahi bahwa demokrasi hanya bisa berkembang dari ruang debat yang sehat.
“Kalau Anda berpendapat tanpa ada yang menentang, itu bukan pendapat. Itu doa. Doa tidak boleh ditentang, tapi pendapat harus ditentang,” katanya.
Ia menambahkan, forum publik harus memberi ruang pada perbedaan pandangan. Audit eksternal dari masyarakat sipil, menurutnya, lebih penting daripada audit internal.
“Audit demokrasi harus berbasis argumen, bukan sentimen. Itu force of the better argument. Itulah cara kita memperbaiki kepolisian, sekaligus peradaban kita,” pungkasnya.
Di akhir pidatonya, Rocky menegaskan kembali bahwa Polri bukanlah entitas yang berdiri di atas rakyat, melainkan bagian dari masyarakat sipil yang dipersenjatai untuk menjaga ketertiban.
“Diskresi polisi harus selebar demokrasi. Demokrasi tidak boleh dibangun dengan rasa takut, tetapi dengan rasa nyaman. Pertengkaran ide itulah yang memajukan bangsa,” katanya, menutup pidato yang disambut tepuk tangan panjang.
Pidato Rocky Gerung di depan jenderal Polri ini bukan sekadar kritik. Ia adalah refleksi mendalam atas kondisi demokrasi Indonesia hari ini. Sejak reformasi 1998, institusi kepolisian memang telah dipisahkan dari militer. Namun, pertanyaan Rocky menggema: apakah nilai yang mendasari cara kerja aparat benar-benar berubah?
Dengan menyentil isu-isu aktual seperti “parcok” dan “Fufu Fafa”, Rocky menghubungkan krisis kepercayaan publik pada ranah yang lebih besar: ketidakpastian politik dan hukum. Pesannya jelas: tanpa supremasi nilai sipil, demokrasi Indonesia akan terus rapuh.
(***)