RIAU24.COM -Gelombang unjuk rasa di Pati dan Bone yang merebak belakangan ini menambah deret panjang riak sosial yang menimpa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Sejumlah analis politik menduga, peristiwa-peristiwa itu bukan sekadar letupan spontan, melainkan bagian dari strategi sistematis untuk melemahkan legitimasi kepala negara.
Upaya tersebut disebut sudah dimulai sejak Januari 2025, dengan tujuan akhir menurunkan kecintaan rakyat terhadap Presiden.
Kronologi yang dipetakan menunjukkan bahwa isu demi isu muncul hampir setiap bulan dengan pola yang serupa.
Februari lalu, sehari setelah Presiden Joko Widodo menyebut Prabowo sebagai tokoh paling kuat di Indonesia, publik dikejutkan oleh gerakan “Indonesia Gelap” yang menyoroti krisis listrik.
Tak lama kemudian, polemik pemindahan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara memicu keresahan baru.
Di Raja Ampat sengketa nikel kembali menyeruak, disusul pengurangan subsidi gas melon tiga kilogram tanpa sosialisasi, yang langsung berdampak pada harga pasar.
Seolah tidak ada jeda, masyarakat dihadapkan pada serangkaian isu yang menimbulkan persepsi instabilitas.
Dalam pandangan Syahganda Nainggolan, aktivis dan pengamat politik, pola semacam itu jelas menunjukkan operasi yang digarap dengan sengaja.
“Cara menurunkan Prabowo adalah dengan menghancurkan rasa cinta rakyat. Itu yang mereka mainkan sejak Januari, isu demi isu, sehingga publik merasa lelah dan kehilangan simpati,” ujarnya. Menurutnya, pola ini bukan hal baru dalam politik Indonesia, tetapi kali ini dijalankan dengan kecepatan dan intensitas yang lebih rapat. “Setiap bulan selalu ada isu besar. Tidak mungkin itu kebetulan. Ini by design,” tambahnya.
Syahganda juga menilai, aktor utama di balik serangan politik terhadap Prabowo adalah kelompok oligarki yang kehilangan akses setelah kebijakan tegas pemerintah mengembalikan jutaan hektar lahan sawit ilegal dan aset tambang.
“Mereka sakit hati. Uang ratusan triliun yang selama ini mereka kuasai hilang begitu saja karena negara mengambil alih. Maka satu-satunya cara adalah menyerang legitimasi Prabowo di mata rakyat,” kata dia.
Menurutnya, strategi yang dipilih bukan frontal, melainkan psikologis. Dengan mengangkat isu-isu sensitif—dari listrik, lahan, subsidi, hingga harga kebutuhan pokok—mereka menciptakan kesan bahwa Prabowo gagal memenuhi janji.
“Kalau rakyat mulai merasa presiden tidak lagi berpihak, lama-lama dukungan itu habis dengan sendirinya,” ungkap Syahganda.
Situasi ekonomi yang sedang berat membuat serangan itu kian efektif. Rumor kenaikan pajak tanah, wacana gaji baru bagi anggota DPR, dan harga pangan yang terus menanjak menciptakan atmosfer ketidakpuasan.
Pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang mencapai 5,12 persen memang dicatat pemerintah sebagai pencapaian, tetapi angka itu tidak serta-merta dirasakan rakyat.
Penjualan mobil menurun, sementara penjualan motor meningkat, menandakan kelas menengah memilih menahan belanja dan hanya memenuhi kebutuhan mendasar.
Buruh berpenghasilan rendah pun bertahan dengan kenaikan upah 6,5 persen, yang tidak cukup menutup kenaikan biaya hidup.
Di titik ini, Syahganda menilai Istana terlalu lamban.
“Prabowo itu orang lapangan, tapi tim di sekitarnya seperti tidak punya sense krisis. Sementara lawan bergerak cepat, istana justru gagap,” tegasnya.
Ia menambahkan, aparat keamanan yang seharusnya menjadi penjaga stabilitas justru memperburuk citra pemerintah dengan pendekatan lama yang represif.
“BIN dan Polri masih main cara jadul, bahkan konon menyuap mahasiswa. Itu fatal, karena rakyat makin percaya tuduhan bahwa pemerintah represif,” kata dia.
Di dunia digital pun, pemerintah kalah telak. Berbeda dengan era Jokowi, Prabowo tidak memelihara buzzer atau influencer. Akibatnya, narasi kontra pemerintah lebih dominan di media sosial, membentuk persepsi negatif yang menyebar jauh lebih cepat ketimbang fakta di lapangan.
“Kalau di medsos Prabowo terus digambarkan lemah dan lamban, pada akhirnya rakyat akan percaya. Ingat, dalam politik modern, persepsi lebih kuat dari realitas,” ujar Syahganda.
Komunikasi publik yang tertinggal memperparah keadaan. Tidak ada jurubicara presiden yang mampu menjawab isu-isu secara cepat dan meyakinkan.
Simpul-simpul masyarakat seperti ulama, petani, buruh, hingga guru pun belum dirangkul secara sistematis untuk menyampaikan narasi positif pemerintah. Padahal, menurut Syahganda, kehadiran mereka sangat penting.
“Kalau ulama, petani, buruh bicara langsung ke rakyat, itu lebih dipercaya ketimbang seribu rilis dari istana,” ucapnya.
Syahganda juga mengingatkan faktor usia Presiden yang mulai menua dapat memengaruhi ketegasan.
“Prabowo ini punya legacy tegas. Tapi usia kadang membuat beliau lebih gampang memaafkan lawan. Itu dimanfaatkan. Lawan politik masuk lewat kelembutan hati itu, sambil terus menggempur dari luar,” katanya.
Rangkaian peristiwa dari Pati hingga Bone memperlihatkan bahwa tekanan terhadap pemerintahan berjalan masif dan rapi. Hingga kini, Istana dinilai belum menghadirkan strategi tandingan yang sebanding.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah Prabowo mampu membalikkan arus opini publik, atau justru terjebak dalam pusaran delegitimasi yang terus digulirkan sejak awal tahun?
Sejarah politik Indonesia kerap menunjukkan bahwa citra seorang presiden bisa runtuh bukan semata karena kebijakan besar, melainkan karena opini yang diproduksi berulang hingga dipercaya rakyat.
(***)