RIAU24.COM - Dunia kedokteran sedang bergeser.
Kecerdasan buatan membantu mengidentifikasi molekul obat potensial lebih cepat dan lebih murah daripada sebelumnya.
Namun, bisakah kecerdasan buatan sepenuhnya menggantikan pekerjaan ilmuwan?
Para ahli mengatakan: Tidak. Sebaliknya, AI dapat menjadi asisten yang ampuh.
Bagaimana AI membantu merancang obat-obatan baru
AI memindai kumpulan data besar seperti gen, protein, dan uji klinis untuk menemukan target obat yang menjanjikan jauh lebih cepat daripada metode tradisional.
AI bahkan dapat menciptakan molekul baru dari awal, sebuah proses yang disebut desain obat de novo.
Model generatif seperti GAN dan VAE sudah menerapkannya.
Hal ini memungkinkan perusahaan mengeksplorasi berbagai kemungkinan kimia secara efisien.
Faktanya, pasar AI dalam penemuan obat mencapai sekitar US$1,5 miliar pada tahun 2023 dan diperkirakan akan tumbuh menjadi USD 20,3 miliar pada tahun 2030, meningkat hampir 30 persen per tahun menurut Grand View Research.
Saat diuji, kandidat obat yang dirancang dengan AI menunjukkan tingkat keberhasilan 80-90 persen dalam uji klinis awal (Fase I), jauh lebih tinggi dari biasanya.
Sebagai contoh, antibiotik baru yang ditemukan oleh MIT menggunakan AI menunjukkan efek yang kuat terhadap MRSA dan bakteri resistan obat lainnya dalam uji coba pada hewan.
Lebih lanjut, kesepakatan terbaru antara Eli Lilly dan perusahaan AI Superluminal bernilai hingga US$1,3 miliar untuk mengembangkan pengobatan obesitas menggunakan perangkat AI, sebagaimana dilaporkan oleh Reuters.
Para ilmuwan masih memainkan peran penting
Meskipun cepat dan berwawasan luas, AI memiliki keterbatasan.
AI tidak memiliki intuisi kreatif yang dimiliki para ilmuwan untuk memahami biologi penyakit, merumuskan pertanyaan penelitian baru, dan mengarahkan eksperimen.
Kekhawatiran etika dan keamanan juga penting.
AI dapat mewarisi bias dari data, menimbulkan masalah privasi, atau salah menafsirkan kondisi langka.
Hal-hal ini membutuhkan pengawasan yang cermat dari para ilmuwan.
Apa yang ada di depan:
Jalur yang paling menjanjikan menggabungkan kecepatan AI dengan keahlian ilmuwan.
Perusahaan seperti MIT dan Isomorphic Labs milik Alphabet menggunakan AI untuk merancang molekul sementara laboratorium mengujinya di bawah pengawasan ketat manusia.
(***)