RIAU24.COM Dalam hitungan hari, dua tokoh yang selama ini dikenal kritis terhadap kekuasaan, Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong, menghirup udara bebas.
Peristiwa ini bukan sekadar kabar hukum, melainkan percikan awal dari api politik yang lebih besar. Sebuah babak baru tampaknya tengah disusun, dan kedua tokoh ini bisa jadi memiliki peran penting dalam narasi politik ke depan.
Publik bertanya-tanya: mengapa keduanya dibebaskan dalam waktu yang hampir bersamaan? Apakah ini murni proses hukum, atau bagian dari manuver kekuasaan yang lebih besar? Yang jelas, panggung politik pasca-Pemilu 2024 belum benar-benar tenang.
Justru, gelombang baru mulai terasa, dan peta kekuasaan sedang direvisi ulang—bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh logika transisi itu sendiri.
Kembalinya Hasto dan Tom ke arena publik seolah mengingatkan bahwa oposisi belum mati. Justru mereka kembali ketika kepercayaan terhadap proses politik sedang diuji.
Bukan hanya karena dugaan intervensi hukum, tetapi juga karena kegamangan elite dalam menghadapi relasi baru antara Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Polemik politik kembali mengemuka ke ruang publik, kali ini menyangkut perdebatan antara praktisi hukum Pitra Romadoni Nasution dan filsuf politik Rocky Gerung dalam acara Rakyat Bersuara yang disiarkan melalui kanal YouTube. Kedua tokoh yang sering tampil di panggung diskusi nasional itu terlibat adu argumen yang memanas, khususnya terkait istilah kontroversial “pupu papa” yang dilontarkan Rocky Gerung dalam beberapa kesempatan sebelumnya.
Perdebatan yang berlangsung hampir dua puluh menit itu membuka banyak spektrum kritik—dari isu keaslian ijazah Presiden Joko Widodo, tudingan politik simbolik terhadap elite kekuasaan, hingga perdebatan mendalam seputar legalitas dan etika dalam kehidupan bernegara. Pitra tampil sebagai pembela pendekatan hukum formal, sementara Rocky mempertahankan posisinya sebagai pengusung kritik filosofis terhadap kekuasaan.
Pitra: Jangan Abaikan Persoalan Bangsa, Fokus ke Hukum
Pitra membuka pernyataannya dengan menegaskan bahwa publik seharusnya tidak lagi terjebak pada polemik yang ia sebut sebagai pengalih perhatian. Ia menyebut bahwa perdebatan tentang keaslian ijazah presiden atau istilah pupu papa yang viral di media sosial harus dihentikan apabila tidak disertai bukti hukum yang sah.
"Kalau memang ada persoalan hukum, laporkan saja. Jangan menjadikan ini alat serangan politik," ujar Pitra dengan nada tegas.
Ia kemudian mengutip adagium hukum klasik dalam bahasa Latin, salus populi suprema lex esto, yang berarti “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Dalam perspektif itu, Pitra menilai saat ini adalah momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk bersatu di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Pak Prabowo mengambil keputusan sebagai negarawan sejati, bijaksana melihat situasi politik kita yang semakin memanas. Ini saatnya kita dukung, bukan terus mencurigai," tegasnya.
Pitra juga menyoroti pertikaian antarpendukung elite yang ia ibaratkan sebagai “tim Abah, tim Solo, dan tim Bunda” yang saling serang tanpa henti. Menurutnya, konflik horizontal ini hanya akan merugikan kepentingan nasional dan membuat bangsa terus berjalan di tempat.
"Kalau pertikaian antar kubu ini tidak berhenti, maka bangsa kita tidak akan pernah maju. Kita harus menatap masa depan bersama, bukan terus-menerus mencurigai satu sama lain," ujarnya.
Rocky Gerung: Kritik Tak Bisa Diredam, Rakyat Butuh Kejelasan
Namun, Rocky Gerung menolak untuk tunduk pada ajakan ‘melupakan’ isu-isu sensitif. Ia mengingatkan bahwa keresahan rakyat tidak bisa dibungkam hanya karena kepentingan menjaga stabilitas semu. Rocky mencontohkan betapa banyaknya suara emak-emak di media sosial yang menyuarakan kekecewaan terhadap kondisi ekonomi dan ketimpangan kekuasaan.
"Prabowo membaca bahwa keputusan itulah yang diinginkan rakyat. Tapi benarkah itu suara rakyat? Emak-emak sekarang tahu betul: piring yang bunyi bukan karena kerupuk, tapi karena kosong," ujar Rocky.
Rocky menegaskan bahwa isu-isu seperti ijazah palsu atau pupu papa bukan sekadar sensasi, melainkan simbol kegelisahan publik terhadap etika kekuasaan. Menurutnya, ketika persoalan seperti ini tidak dijawab dengan jujur dan transparan, maka publik akan terus mempertanyakan moralitas politik nasional.
Perselisihan Tajam: Hukum Vs Filsafat
Puncak ketegangan muncul ketika Rocky mengulangi istilah “pupu papa”, istilah sindiran yang sebelumnya ia lempar dalam berbagai forum untuk menggambarkan aktor di balik kekuasaan yang disebut-sebut bukan berasal dari jalur resmi atau konstitusional. Pitra langsung menyergah dan menuntut agar Rocky menjelaskan siapa yang dimaksud dengan istilah itu.
"Kalau Anda tahu siapa pupu papa itu, sebutkan. Jangan bermain simbol. Ini debat publik, bukan panggung sandiwara," tantangnya.
Dalam responsnya, Rocky tidak memberikan jawaban eksplisit. Ia mempertahankan sikapnya sebagai filsuf dan menyatakan bahwa makna dari istilah tersebut adalah kritik simbolik terhadap struktur kekuasaan yang dianggap tidak transparan. Rocky juga mengutip teori Hegel tentang relasi antara “tuan dan budak” sebagai ilustrasi bahwa kekuasaan selalu terbentuk dalam hubungan yang saling bergantung.
"Tuan dan budak itu saling tergantung. Tak ada budak tanpa tuan, dan sebaliknya. Itu yang membentuk kesetaraan dasar dalam struktur kekuasaan," ujarnya.
Pitra kembali menolak pendekatan tersebut. Ia mengatakan bahwa dalam diskusi publik, terutama yang disaksikan jutaan orang, kejelasan hukum harus diutamakan. Ia kemudian merujuk pada Pasal 184 KUHAP yang mengatur tentang lima jenis alat bukti sah dalam proses hukum, yakni keterangan saksi, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, dan keterangan ahli.
"Kalau memang Anda punya bukti, hadirkan. Kalau tidak, jangan mengaburkan opini publik dengan simbol-simbol yang tidak bisa diverifikasi," katanya.
Visi Kepemimpinan: Jokowi, Prabowo, dan Kabinet
Perdebatan berkembang lebih jauh ketika Rocky mengangkat pentingnya visi dalam kepemimpinan nasional. Ia membandingkan bagaimana pemimpin dunia seperti Bill Clinton, Barack Obama, hingga Prabowo menuliskan visinya secara terbuka melalui buku, sedangkan menurutnya Jokowi tidak memberikan pijakan yang jelas terkait gagasan besar yang ingin diwujudkannya.
"Clinton menulis Putting People First, Obama menulis The Audacity of Hope. Jokowi? Revolusi Mental, tapi kita tidak pernah tahu substansi di baliknya," ujar Rocky.
Ia kemudian mengapresiasi bahwa Prabowo pernah menulis buku Paradoks Indonesia, yang dianggapnya sebagai fondasi awal kepemimpinannya. Namun, Rocky mempertanyakan apakah visi tersebut diterjemahkan dengan baik ke dalam struktur kabinet yang sekarang.
"Kalau kabinet diisi hasil transaksi, bukan karena kualitas, maka visi tidak akan pernah terwujud. Dalam kondisi seperti ini, harus ada radical break. Kalau tidak, kecewa akan tumbuh," katanya.
Menurut Rocky, hal mendesak saat ini bukan hanya dukungan buta terhadap presiden terpilih, tapi juga kontrol publik yang kritis terhadap pelaksanaan visi dan arah pemerintahan.
(***)