Diprediksi Ada Serangan Balik dari Jokowi, Rocky Gerung: Abolisi daan Amnesti Prabowo Jadi Ancaman Politik Dinasti

R24/zura
Diprediksi Ada Serangan Balik dari Jokowi, Rocky Gerung: Abolisi daan Amnesti Prabowo Jadi Ancaman Politik Dinasti. (Screenshot Channel YouTube @RockyGerungOfficial_2024)
Diprediksi Ada Serangan Balik dari Jokowi, Rocky Gerung: Abolisi daan Amnesti Prabowo Jadi Ancaman Politik Dinasti. (Screenshot Channel YouTube @RockyGerungOfficial_2024)

RIAU24.COM -Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada dua tokoh politik nasional, Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto, menuai reaksi tajam dari berbagai pihak. 

Kebijakan ini dinilai bukan hanya sebagai langkah hukum, melainkan juga sebagai manuver politik yang berpotensi menggoyang keseimbangan kekuasaan, khususnya terhadap pengaruh politik Presiden Joko Widodo dan lingkaran dinastinya.

Pengamat politik Rocky Yerung menyebut keputusan ini memiliki konsekuensi politik besar, terutama dalam konteks relasi antara Prabowo, Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Jokowi. Menurutnya, langkah Prabowo mencerminkan sinyal kedekatan dengan Megawati sekaligus pengambilan jarak dari Jokowi.

“Presiden Prabowo mesti memilih: bersahabat dengan Ibu Mega atau dengan Pak Jokowi. Dengan pemberian amnesti dan abolisi ini, sinyal politik yang muncul jelas: Prabowo mendekat ke Megawati,” ujar Rocky dalam diskusi yang disiarkan melalui kanal YouTube.

Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI-P, sebelumnya menjalani proses hukum yang dianggap bermuatan politis, termasuk dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi yang berulang kali diangkat kembali setelah lima tahun. 

Adapun Thomas Lembong, mantan pejabat di era awal Presiden Jokowi, dinilai sebagai korban inkonsistensi kebijakan impor dan dianggap telah berpindah haluan politik mendukung lawan Jokowi.

Rocky menyebut bahwa tindakan Prabowo adalah bentuk koreksi atas intervensi politik dalam proses hukum yang terjadi selama masa pemerintahan sebelumnya.

“Hukum semestinya preskriptif. Namun politik selama ini justru mendikte hukum. Dalam kasus ini, Presiden Prabowo memilih untuk menempatkan hukum di atas manuver politik,” ujarnya.

Buzzer Jokowi Kritik Tajam

Langkah ini tak lepas dari kritik para pendukung Jokowi, terutama dari kalangan buzzer media sosial yang selama ini dikenal loyal terhadap koalisi Prabowo–Gibran. 

Mereka menilai keputusan tersebut melemahkan posisi politik Presiden Jokowi dan mengancam keberlanjutan dinasti politiknya, terutama masa depan Gibran Rakabuming Raka.

“Justru muncul semacam ancaman balik dari buzzer Jokowi kepada Presiden Prabowo, termasuk wacana pemakzulan. Ini menjadi pertanda adanya kekecewaan serius terhadap keputusan itu,” tambah Rocky.

Isu Balasan Politik Mengemuka

Muncul dugaan bahwa Jokowi tidak akan tinggal diam. Menurut Rocky, keputusan tersebut bisa mendorong Presiden Jokowi untuk melakukan "serangan balik politik", termasuk melalui tekanan publik, parlemen, atau kekuatan media sosial.

“Jokowi belum tentu menyerah. Tapi ini jadi ujian apakah demokrasi Indonesia bisa berjalan tanpa campur tangan kekuasaan dalam hukum,” tuturnya.

Rocky juga menilai bahwa amnesti ini bukan sekadar pelunakan sikap hukum, tetapi bentuk simbolik bahwa pemerintahan Prabowo tidak akan mentoleransi kriminalisasi berbasis kepentingan politik.

Masa Depan Politik Dinasti Dipertaruhkan

Dinasti politik Jokowi dinilai berada di persimpangan jalan. Dengan keputusan ini, Gibran sebagai Wakil Presiden menghadapi ujian berat terkait keabsahan dan dukungan politiknya, terutama jika konflik terbuka antara Prabowo dan Jokowi semakin nyata.

“Jika pendukung Gibran mengecam keputusan Prabowo, artinya mereka hanya pura-pura mendukung. Ini membuka fakta bahwa posisi Gibran lebih sebagai cadangan politik, bukan figur independen,” tegas Rocky.

Di tengah ketegangan ini, publik dihadapkan pada realitas politik baru: upaya Presiden Prabowo untuk menyeimbangkan kepentingan hukum dan kekuasaan, sambil menjawab tuntutan etika publik terhadap sistem demokrasi.

Kabar terbaru, Sebuah manuver politik besar disebut-sebut tengah disiapkan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk menandai dimulainya era baru pemerintahannya.

Langkah tersebut, menurut analisis pakar, adalah pemberian amnesti dan abolisi kepada figur-figur yang selama ini dikenal sebagai lawan politik, seperti Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Co-Captain Timnas AMIN Tom Lembong.

Langkah ini dinilai bukan sekadar tindakan hukum biasa, melainkan sebuah sinyal kuat untuk mengakhiri dominasi politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah mengakar kuat.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, membedah manuver ini sebagai langkah strategis yang penuh perhitungan. Menurutnya, pemberian grasi hukum ini adalah cara paling efektif bagi Prabowo untuk memulai 'de-Jokowisasi' dan menegaskan otonominya sebagai pemimpin baru Indonesia.

Dalam analisisnya di podcast Forum Keadilan TV, Feri Amsari menyoroti kecepatan proses hukum sebagai kunci untuk membaca arah politik Prabowo. Jika amnesti diberikan tak lama setelah putusan hukum dijatuhkan, ini menjadi pesan yang sangat jelas.

"Pemberian amnesti dan abolisi yang cepat setelah putusan menunjukkan upaya untuk segera menghentikan dominasi figur tertentu," kata Feri Amsari.

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Prabowo sadar betul akan adanya rantai pengaruh dari rezim sebelumnya. Dengan 'menyelamatkan' Hasto dan Tom Lembong—dua tokoh yang kerap berseberangan dengan Istana di era Jokowi—Prabowo seolah sedang memotong tali kendali dan menunjukkan siapa pemegang kekuasaan sesungguhnya saat ini.

Di sisi lain, langkah ini juga bisa dibaca sebagai upaya Prabowo membangun citra sebagai presiden pemersatu, bukan presiden yang gemar berkonflik. Alih-alih meneruskan polarisasi, ia memilih merangkul lawan.

"Pemberian amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom Lembong, yang merupakan lawan politik, dapat dilihat sebagai upaya presiden untuk merangkul dan menyatukan berbagai pihak," jelas Feri.

Strategi ini dinilai cerdas. Prabowo tidak hanya mengakhiri 'perang hukum' yang kerap dituduhkan terjadi pada masa sebelumnya, tetapi juga sedang membangun fondasi legitimasinya sendiri.

Ia ingin terlepas dari bayang-bayang Jokowi dan membentuk koalisi politik yang loyal kepadanya, bukan kepada figur masa lalu.

Analisis Feri Amsari menjadi lebih tajam saat ia membandingkan potensi langkah Prabowo dengan praktik hukum di era Jokowi. Ia memberikan peringatan keras agar Prabowo tidak mengulangi dugaan kesalahan yang sama.

"Presiden kedelapan harus memastikan tidak memberikan contoh buruk dalam penggunaan kekuasaan, seperti yang diduga dilakukan presiden ketujuh," ujarnya.

Pernyataan ini secara lugas menyinggung adanya dugaan politisasi hukum di masa lalu. Dengan memberikan amnesti, Prabowo tidak hanya tampil sebagai juru selamat, tetapi juga sebagai korektor atas dugaan penyalahgunaan wewenang.

Ini adalah cara Prabowo menegaskan komitmennya bahwa di bawah kepemimpinannya, hukum tak akan lagi menjadi senjata untuk "membunuh lawan politik."

Meski fokus utama analisis tertuju pada manuver politik tingkat tinggi, Feri Amsari juga mengingatkan agar instrumen hukum ini tidak hanya tajam ke atas. Ia mendorong agar keadilan bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

"Pemberian amnesti dan abolisi sebaiknya tidak hanya untuk kasus politik, tetapi juga untuk kasus lain seperti kasus lingkungan hidup dan narkoba," sarannya.

Imbauan ini menjadi catatan penting bahwa di tengah pertarungan elite, ada agenda kemanusiaan yang lebih besar.

Namun, tak bisa dipungkiri, sorotan utama publik saat ini tertuju pada bagaimana Prabowo Subianto secara perlahan tapi pasti mulai membongkar bangunan dominasi politik yang ditinggalkan pendahulunya, dimulai dari sebuah langkah hukum yang sarat makna.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak