RIAU24.COM - Wakil Presiden Partai Buruh, Said Salahudin menyebut ambang batas parlemen parliamentary threshold menjadi penyebab terbuangnya 70 persen lebih suara Pemilu.
Hal itulah yang menjadikan alasan Partai Buruh menggugat ambang batas parlemen ke Mahkamah Konstitusi (MK) dikutip dari rmol.id, Senin, 28 Juli 2025.
Semua diawali ketika gugatan tersebut diajukan dalam rangka memperjuangkan keadilan bagi pemilih yang suaranya tidak terwakili caleg pilihannya, hanya karena tidak dapat duduk di parlemen.
"Materi yang kami gugat kali ini adalah mengenai aturan ambang batas parlemen sebesar 4 persen dari total suara sah nasional yang dipersyaratkan oleh UU Pemilu sebagai syarat diikutsertakannya partai politik dalam penentuan kursi DPR RI," sebutnya.
"Aturan ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold (PT) ini kami uji ke MK untuk meminimalisir jumlah suara rakyat yang berpotensi terbuang sia-sia di Pemilu 2029 dan seterusnya," ujarnya.
Tambahnya, persoalan ketidakadilan bagi pemilih akibat parliamentary threshold yang dipatok 4 persen, telah terjadi pada 2 kali pemilu.
Sebagai contoh, dia membeberkan fakta dan data yang merupakan hasil kajian Partai Buruh dari Pemilu 2019.
"Berkaca pada Pemilu 2019, sedikitnya ada 12 dapil DPR RI yang jumlah suara terbuangnya bahkan melampaui jumlah suara yang terkonversi menjadi kursi," ujarnya.
Ke-12 dapil itu antara lain Aceh II, Banten II, Gorontalo, Kepulauan Riau (Kepri), Kalimantan Barat II, Papua Barat, Bengkulu, Kalimantan Utara, Maluku, Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) I.
"Di dapil NTB I, suara sah pemilih yang terkonversi menjadi kursi hanya 29,73 persen, sedangkan yang tidak terkonversi menjadi kursi alias terbuang sia-sia jumlahnya mencapai 70,27 persen. Ini jelas ada yang salah dengan pengaturan PT," ujarnya.
Persoalan serupa juga terjadi pada Pemilu 2024 dan juga di 12 dapil, antara lain Papua Pegunungan, Papua Tengah, Sulbar, Kepri, Papua Barat, Kep. Babel, Maluku, Papua, Papua Selatan, Maluku Utara, NTB I, dan Papua Barat Daya.
"Di dapil Papua Barat Daya, suara yang terkonversi menjadi kursi jumlahnya hanya 28,90 persen, sedangkan yang tidak terkonversi menjadi kursi alias suara rakyat yang hilang jumlahnya lebih ekstrem lagi yaitu sebesar 71,10 persen," ujarnya.
"Ini sekali lagi mengkonfirmasi bermasalahnya aturan PT (parliamentary threshold)," sebutnya