RIAU24.COM -Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk memberi tugas khusus kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Papua tengah menjadi sorotan publik.
Usulan ini disebut-sebut mencerminkan strategi besar Prabowo dalam menyelesaikan kompleksitas Papua, sekaligus memberikan peran nyata kepada Gibran di luar tugas-tugas seremonial wakil presiden.
Meski belum dipastikan secara resmi, wacana ini mengemuka setelah pernyataan mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra yang menyebut Gibran akan diberi mandat strategis untuk memantau pembangunan sekaligus menjadi simpul koordinasi penyelesaian konflik di Papua.
Menanggapi hal ini, pengamat politik dan filsuf publik Rocky Gerung menyampaikan kritik tajam namun argumentatif.
Dalam diskusi bersama Arif di kanal YouTube-nya, Rocky menilai penugasan ini bisa menjadi momen penting bagi Gibran—namun hanya jika dilakukan secara serius dan tidak sekadar simbolik.
Menurut Rocky, Papua bukan sekadar wilayah administratif, melainkan "wilayah uji kepemimpinan paling kompleks di republik ini". Ia menyebut bahwa Papua memiliki tantangan multidimensi: mulai dari persoalan hak asasi manusia, ketimpangan pembangunan, masalah lingkungan hidup, hingga dinamika geopolitik di kawasan Pasifik.
“Ini bukan tempat untuk pencitraan atau sekadar ‘ngantor’,” ujar Rocky.
Ia menambahkan, jika Gibran bersedia berkantor di Papua hingga 2029 dan aktif dalam proses mediasi serta rekonsiliasi sosial, maka publik mungkin akan mengubah pandangannya terhadap kapasitas kepemimpinan sang wakil presiden.
Namun kritik tajam tetap disampaikan. Rocky mempertanyakan apakah Gibran benar-benar memiliki kapasitas untuk memahami dan mengelola kompleksitas konflik di Papua.
“Ngerti nggak soal diplomasi? Ngerti nggak local culture? Apa dia bisa jadi mediator yang dihormati oleh masyarakat adat dan tokoh-tokoh Papua yang selama ini skeptis terhadap pusat?” sindirnya.
Ia menyebut, publik selama ini lebih mengenal Gibran lewat aktivitas yang dinilainya minim bobot politik, seperti kegiatan simbolik di Ibu Kota Nusantara atau unggahan media sosial bertema gaya hidup dan pertanian urban.
Perbandingan pun muncul antara Gibran dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang selama menjabat dikenal memiliki rekam jejak kuat dalam diplomasi damai, termasuk dalam proses perdamaian Aceh. Menurut Rocky, keberhasilan Kalla bukan hanya karena status jabatannya, tetapi karena kematangan intelektual dan kapasitas bernegosiasi dalam konflik politik dan ideologis.
“Wakil presiden akan diingat bukan karena jabatan, tapi karena apa yang dia lakukan. JK menjalankan tugas dengan penuh legitimasi. Bisakah Gibran melakukan hal yang sama?” ucapnya.
Meski demikian, Rocky tidak serta-merta menolak wacana penugasan ke Papua. Justru menurutnya, jika dilakukan dengan keseriusan dan komitmen, langkah ini dapat menjadi titik balik bagi Gibran untuk membuktikan kapasitasnya.
Namun ia mengingatkan bahwa langkah ini mengandung risiko politik tinggi. Di satu sisi, Gibran akan dihadapkan pada konflik horizontal dan diplomasi lokal yang rumit.
Di sisi lain, keluarganya tengah dibebani berbagai isu nasional: mulai dari wacana pemakzulan, tuduhan ijazah palsu, hingga kasus hukum yang melibatkan tokoh-tokoh dekat Presiden Jokowi dan putra-putranya.
Rocky bahkan menyebut dinamika ini sebagai “konsekuensi dari konstruksi politik dinasti” yang dibangun Jokowi dalam satu dekade terakhir. “Sekarang dinastinya sedang menghadapi ujian publik yang sangat berat. Ini bukan karma, ini logika politik. Dan publik sedang menagih akuntabilitas,” katanya.
Sementara itu, spekulasi muncul terkait sikap Gibran sendiri terhadap usulan penempatan di Papua. Belum ada pernyataan resmi dari Istana.
Namun, sinyal kehati-hatian mulai terlihat dari pernyataan beberapa pejabat, termasuk Mendagri Tito Karnavian, yang menyebut bahwa penugasan tersebut belum tentu harus membuat Gibran “berkantor” di Papua.
Beberapa analis membaca pernyataan ini sebagai indikasi bahwa wacana tersebut masih dalam tahap eksplorasi dan belum diputuskan sebagai kebijakan definitif.
Apapun itu, perdebatan mengenai rencana penugasan ini telah membuka kembali diskusi besar mengenai cara negara memperlakukan Papua.
Sekaligus memperlihatkan bagaimana publik memandang kapasitas Gibran yang sejak awal pencalonannya sebagai wakil presiden dinilai kontroversial, baik dari sisi usia, pengalaman, maupun proses hukum di Mahkamah Konstitusi yang mengantarkannya ke kursi kekuasaan.
Rocky menyimpulkan dengan nada kritis namun tetap rasional: “Kalau Gibran serius ingin membangun jejak politik, dia harus diuji.
Dan Papua adalah tempat paling jujur untuk menguji itu. Kalau gagal, sejarah akan mencatatnya. Kalau berhasil, mungkin dia akan diingat sebagai pemimpin yang tumbuh dari krisis.”
Publik kini menunggu, apakah wacana ini akan menjadi kenyataan. Atau hanya bagian dari manuver politik sesaat di tengah badai legitimasi yang masih mengitari nama Gibran dan keluarganya.
(***)