RIAU24.COM - Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Kamiri meyakini wacana kenaikan tarif ojek online (ojol) sebesar 8-15 persen tak menyelesaikan persoalan kesejahteraan para pengemudi ojol.
Menurutnya, akar permasalahan para ojol adalah sistem perbudakan modern yang diterapkan aplikator dikutip dari inilah.com, Kamis, 3 Juli 2025.
"Kebijakan dan sistem bisnis ojol saat ini memang mencerminkan gejala perbudakan modern berbasis aplikasi. Meski dibungkus dengan istilah kemitraan, kenyataannya pengemudi tidak memiliki posisi tawar yang sejajar," ujarnya.
Hal ini karena para pengemudi ojol telah bekerja penuh waktu.
Serta menanggung biaya operasional, menggunakan kendaraan pribadi sebagai modal produksi, tetapi tetap tidak mendapat jaminan sosial.
Selain itu, ojol juga tidak memiliki jenjang karir, bahkan antara pihak aplikator dengan pengemudi tak berunding dalam penentuan skema kerja.
"Lebih ironis lagi, keuntungan terbesar justru dikonsolidasikan di tangan aplikator. Entitas yang tidak menyediakan kendaraan, tidak membayar BBM, dan tidak menanggung risiko kerja harian," sebutnya.
Dia pun menyebut istilah mitra merupakan bentuk kamuflase untuk menutupi relasi eksploitatif yang sistemik.
"Tanpa perlindungan hukum dan hak dasar pekerja, pengemudi ojol hidup dalam ketergantungan ekonomi yang menyerupai struktur perbudakan modern," ujarnya.