RIAU24.COM -Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menganggap langkah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk menghentikan sementara aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat, tidak menjawab substansi masalah.
Sebab, langkah tersebut tidak menghapus izin usaha pertambangan (IUP) yang telah dikeluarkan.
"Artinya, secara hukum, perusahaan tetap memiliki dasar untuk melanjutkan aktivitas di masa depan," kata Koordinator Nasional Jatam Melky Nahar dikutip dari Media Indonesia, Jumat, 6 Juni 2025.
Menurut dia, penundaan tersebut dinilai hanya untuk meredakan reaksi publik.
Sebab, tidak ada jaminan aktivitas pertambangan dihentikan secara total.
"Tidak ada jaminan bahwa setelah situasi mereda, aktivitas tidak akan dilanjutkan," ungkap dia.
Selain itu, langkah tersebut dinilai kontradiktif dengan komitmen lingkungan.
Padahal, pemerintah Indonesia secara internasional sering menyuarakan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan dan konservasi laut.
"Namun, tindakan seperti ini mencerminkan ketidaksesuaian antara narasi dan praktik," ujar Melky.
Maka, penambangan di pulau kecil seperti di Raja Ampat semestinya dihentikan secara permanen.
Oleh karena itu, Jatam menyampaikan sejumlah rekomendasi. Pertama, pemerintah perlu encabut izin tambang yang telah dikeluarkan di wilayah pulau kecil.
Kedua, menyelaraskan kebijakan investasi dengan prinsip ekologi dan hukum lingkungan hidup.
Ketiga, memprioritaskan pendekatan pembangunan yang berbasis konservasi, ekowisata, dan partisipasi masyarakat lokal.
"Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, tapi warisan dunia yang keberadaannya harus dijaga untuk generasi mendatang," ujar dia.
(***)