RIAU24.COM - Agus Difabel, terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap sejumlah perempuan, divonis 10 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat. Vonis ini lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa penuntut umum.
Kasus ini pertama kali mencuat pada Desember 2024 lalu. Saat itu, publik sempat terkecoh dengan kasus ini karena pembelaan Agus atas status penyandang tunadaksa-nya.
Agus mengklaim tak mungkin melakukan pelecehan seksual terhadap korbannya dengan kondisinya saat itu.
"Saya tidak bisa mengerti bagaimana saya bisa melakukan kekerasan seksual atau pemerkosaan, sedangkan saya tidak memiliki kedua tangan. Logika saja, bagaimana saya bisa buka celana atau buka baju sendiri?" tegas Agus, Minggu (1/12).
Baca Juga: Geger! 13 Pengurus dan Santri Ponpes Milik Miftah Diduga Lakukan Penganiayaan
Polisi juga sempat disorot dan dikritik dalam penanganan kasusnya. Saat itu Agus dijadikan sebagai tahanan rumah.
Seiring berjalannya waktu, perlahan fakta-fakta hukum mulai terungkap. Saksi-saksi dan korban juga mulai berani bicara ke publik.
Menjelang penutupan tahun 2024, polisi akhirnya mengungkap modus yang dilakukan Agus dalam merayu korbannya. Pada 9 Januari, Agus dijebloskan ke tahanan.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, melakukan penahanan terhadap tersangka kasus pelecehan seksual berstatus penyandang tunadaksa berinisial IWAS alias Agus 'Buntung' di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Lombok Barat.
"Jadi, terhitung mulai hari ini hingga 20 hari ke depan, yang bersangkutan kami titipkan penahanan pertamanya di Lapas Kelas II A Lombok Barat," kata Kepala Kejari Mataram Ivan Jaka, dilansir Antara, Kamis (9/1).
Adapun pertimbangan jaksa mengalihkan status tahanan Agus dari sebelumnya di tahap penyidikan kepolisian tahanan rumah menjadi tahanan rutan ini melihat ancaman hukuman dari sangkaan pidana yang diterapkan dalam berkas perkara.
Baca Juga: Alasan Arab Saudi Tak Keluarkan Visa Haji Furoda Tahun Ini
"Selain ancaman hukuman pidananya, kami mempertimbangkan jumlah korban yang melebihi 15 orang," ujarnya.
Jaksa penuntut umum juga sebelumnya menolak pengajuan permohonan tersangka agar tetap menjalani status tahanan rumah, mengingat kondisi tersangka sebagai penyandang tunadaksa tanpa dua lengan.
Ivan menegaskan, pihaknya menjamin pemenuhan hak tersangka sebagai penyandang tunadaksa dalam menjalani status tahanan rutan di Lapas Kelas II A Lombok Barat.