RIAU24.COM -Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemerintah untuk menggratiskan biaya SD dan SMP di sekolah swasta akan kita jabarkan dibawah ini.
MK menyampaikan sejumlah pertimbangan dan kapan putusan menggratiskan biaya SD dan SMP swasta dilaksanakan.
Menggratiskan biaya SD dan SMP swasta merupakan keputusan MK dalam mengabulkan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Putusan dibacakan saat sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (27/5).
Permohonan dengan nomor 3/PUU-XXIII/2025 diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
MK menegaskan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) harus menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Hal itu berlaku untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.
MK Minta Alokasi Anggaran Adil
Dalam salah satu pertimbangannya, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih meminta negara mengalokasikan anggaran pendidikan secara efektif dan adil. Terutama, kepada kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses di sekolah negeri.
"Salah satu aspek krusial dalam implementasi ketentuan tersebut adalah bagaimana negara dapat memastikan bahwa anggaran pendidikan benar-benar dialokasikan secara efektif dan adil, termasuk bagi kelompok masyarakat yang menghadapi keterbatasan akses terhadap sekolah negeri. Dalam hal ini, untuk menjamin hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi, negara wajib menyediakan kebijakan afirmatif berupa subsidi atau bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat yang hanya memiliki pilihan untuk bersekolah di sekolah/madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri," bunyi keterangan MK.
Menurut MK, kebutuhan bantuan pemerintah sebagai bentuk perwujudan kewajiban konstitusional pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, MK mempertimbangkan fakta bahwa terdapat sekolah atau madrasah swasta yang selama ini menerima bantuan anggaran dari pemerintah seperti program BOS atau program beasiswa lainnya, namun tetap mengenakan atau memungut biaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah masing-masing dari peserta didik guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan kegiatan pendidikan sekolahnya.
Dalam kaitan dengan dalil para pemohon mengenai adanya ketimpangan dalam alokasi anggaran pendidikan dasar yang berdampak pada tingginya angka putus sekolah di tingkat pendidikan dasar, MK menilai bahwa persoalan tersebut lebih bersifat implementatif dan administratif, yang seharusnya menjadi ranah kebijakan pemerintah dalam menentukan alokasi anggaran pendidikan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan sektor pendidikan di setiap wilayah.
Waktu Pelaksanaan Putusan MK
MK mengatakan jika dilihat dari hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), putusan ini bisa dilakukan secara bertahap. Namun, jika dilihat dari hak sipil dan politik, putusan ini berlaku segera.
"Mahkamah berpandangan terkait dengan sifat pemenuhan hak ekosob tersebut pada prinsipnya berbeda dengan sifat pemenuhan hak sipil dan politik (sipol) yang bersifat segera (promptly) dengan mengurangi sedemikian rupa campur tangan negara dalam pelaksanaan hak tersebut," bunyi keterangan MK.
"Sementara itu, terkait dengan pemenuhan hak ekosob dapat dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kondisi kemampuan negara karena pemenuhan hak ekosob senantiasa berkaitan dengan ketersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran," sambungnya.
Terkait dengan putusan ini, MK menilai pendidikan dasar itu masuk ke hak ekosob. Maka putusan ini sifatnya bertahap.
Alasan Pemohon Ajukan Gugatan ke MK
Dasar alasan permohonan mereka adalah tidak maksimalnya pemakaian anggaran pendidikan di sejumlah daerah di Indonesia.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI menemukan data pada 2016 yang menujukan anggaran pendidikan tidak digunakan untuk program penuntasan wajib belajar di jenjang pendidikan dasar, tetapi lebih digunakan untuk belanja tidak langsung.
"Bahwa berdasarkan data-data anggaran pendidikan dasar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sangat memungkinkan pendidikan dasar baik di sekolah swasta maupun negeri dibiayai oleh 20% APB dan 20% APBD, dengan beberapa alasan yang mendukung," bunyi alasan permohonan pemohon sebagaimana dilihat dalam putusan MK.
Petitum pemohon ialah:
1. Mengabulkan Permohonan PARA PEMOHON;
2. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa "Wajib Belajar minimal Pada Jenjang Pendidikan Dasar Tanpa Memungut Biaya" Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) Inkonstitusional secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Wajib Belajar minimal Pada Jenjang
Pendidikan Dasar yang dilaksanakan di Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta Tanpa Memungut Biaya";
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau,Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
(***)