RIAU24.COM - Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China sempat memanas setelah Washington meningkatkan tarif atas produk-produk impor asal Negeri Tirai Bambu.
Namun, para pengamat menilai China masih menyimpan sejumlah “senjata” strategis yang dapat digunakan untuk membalas kebijakan tersebut.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia dan importir terbesar kedua produk AS, China memiliki sejumlah instrumen ekonomi yang dapat dijadikan alat tawar dalam konflik dagang.
Salah satunya adalah kepemilikan obligasi pemerintah AS yang nilainya mencapai setidaknya 784 miliar dollar AS.
Baca Juga: Israel Bantah Klaim Serangan Mematikan di Pusat Bantuan Rafah yang Tewaskan 31 Orang
Tak hanya itu, China juga menguasai sebagian besar pasokan elemen langka (rare earth elements) yang sangat dibutuhkan dalam industri teknologi, termasuk untuk produksi perangkat elektronik, kendaraan listrik, hingga sistem pertahanan.
“China sebenarnya punya kekuatan finansial yang lebih besar dari apa yang terlihat di permukaan,” ujar Brad Setser, peneliti senior di Council on Foreign Relations dan mantan penasihat Perwakilan Dagang AS di era pemerintahan Presiden Joe Biden, dikutip dari CNBC.
Sejak perang dagang pertama pada 2018, China telah memperkuat perangkat regulasinya, termasuk kontrol ekspor yang dapat digunakan untuk menekan perusahaan-perusahaan asal AS seperti Apple dan Tesla.
Lonjakan tarif yang diberlakukan AS pada musim semi tahun ini menyebabkan aktivitas di pelabuhan-pelabuhan Pantai Barat AS mengalami perlambatan.
Hal ini memicu kekhawatiran akan gangguan rantai pasok barang-barang kebutuhan yang selama ini banyak diproduksi di Asia.
Gedung Putih pada April lalu mengusulkan kenaikan tarif terhadap sejumlah produk asal China hingga mencapai 245 persen.
Menurut analisis Peterson Institute for International Economics, rata-rata tarif terhadap ekspor China ke AS per 12 April telah mencapai 124,1 persen.
Sementara itu, tarif rata-rata yang dikenakan China terhadap produk ekspor AS mencapai 147,6 persen.
“Kita sudah menaikkan tarif ke titik di mana, seiring waktu, perdagangan bisa menyusut menjadi nol,” kata Setser.
Pemerintahan Donald Trump juga menyerukan agar China kembali ke meja perundingan. Namun, pejabat pemerintah China menyatakan bahwa hingga kini belum ada pembicaraan dagang yang dilakukan antara kedua negara adidaya tersebut.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, pada akhir April lalu, menyebut bahwa tarif sebesar 125 hingga 145 persen adalah kebijakan yang tidak bisa dipertahankan dalam jangka panjang.
Baca Juga: Operasi Spider Web Ukraina Kejutkan Rusia, Mirip dengan Serangan Pager Israel Terhadap Hizbullah
Sementara itu, pemerintah China menyerukan kepada negara-negara lain untuk menolak apa yang mereka sebut sebagai “perundungan sepihak” oleh AS.
Beijing juga memperingatkan akan mengambil langkah-langkah balasan terhadap negara-negara yang menjalin kerja sama dagang dengan AS yang dianggap merugikan China.
"China sedang mengirim sinyal kuat bahwa permainan tarif dan rantai pasok ini, bagi mereka, bukan sekadar strategi dagang, melainkan soal kelangsungan hidup,” ujar Dewardric McNeal, Direktur Pelaksana Longview Global.