RIAU24.COM -Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan bicara terkait bonus demografi. Anies menjelaskan maksud hingga tantangan menjadi negara yang mendapat bonus demografi.
Anies menyampaikan pandangannya lewat akun X-nya, @aniesbaswedan, dilihat detikcom, Senin (21/4/2025). Dia awalnya menyampaikan bahwa waktu sedang berpihak pada Indonesia.
"Bonus demografi sering disebut sebagai pintu emas menuju Indonesia maju, tapi benarkah akan otomatis jadi berkah? Di negeri ini, waktu tampak sedang berbaik hati. Kita tengah memasuki fase langka, yaitu bonus demografi. Usia produktif sedang memuncak, menawarkan gegap gempita akan masa depan. Tapi, di balik janji statistik itu, ada tantangan besar yang kerap luput dari sorotan," kata Anies dalam cuitannya.
Anies menegaskan penjelasannya tersebut bukan untuk mematikan optimisme terkait bonus demografi. Menurutnya, pernyataannya sebagai pengingat.
"Utas ini bukan hendak menyiram air pada bara optimisme. Sebaliknya, ini adalah pengingat. Bahwa hanya bangsa yang menyadari ujian-ujian besarnya, yang akan mampu menata masa depannya. Janji kemerdekaan hanya bisa ditepati jika kita tahu jalan mana yang harus diluruskan," jelasnya.
Anies mempertanyakan pihak yang menganggap bonus demografi sebagai berkah otomatis. Padahal, kata dia, usia produktif tidak selalu berarti produktivitas. Ia lantas mengambil contoh para anak muda yang hidup saat ini.
"Anak muda kini hidup dalam tekanan berlapis. Harus sukses cepat, menopang keluarga, mengatasi ketidakpastian kerja, dan membangun masa depan di tengah ruang hidup yang kian mahal. Mereka bukan hanya generasi yang tangguh, tapi generasi yang sibuk, dan generasi yang letih. Anak muda disebut penopang kemajuan, tapi siapa yang menopang mereka? Di balik label produktif, tumbuh fenomena senyap tekanan psikis, gangguan mental, dan rasa hampa. Dunia kerja menuntut kecepatan, tapi lupa menyediakan ruang untuk bernapas. Ini bukan bonus, tapi beban," tuturnya.
Kemudian, Anies bicara terkait jurang aspirasi antara yang tua dan yang muda. Dia menyebut ada kesenjangan tapi Indonesia kini masih didominasi pihak yang tua.
"Yang muda bicara kolaborasi, keterbukaan, dan lompatan. Yang tua bicara kehati-hatian dan stabilitas. Tapi ruang pengambil keputusan masih didominasi kultur lama yang lamban, eksklusif, dan hierarkis. Ketika ide-ide segar dan aspirasi terhenti di meja birokrasi, bukan hanya gagasan yang mati, tapi juga semangat untuk percaya. Bonus ini bisa berubah menjadi jurang yang memisahkan cara pandang. Jika tak dijembatani, maka lahirlah sinisme terhadap institusi," ujarnya.
Lebih lanjut, Anies juga bicara fakta desa dan kota kecil yang mulai ditinggalkan anak muda. Kemudian, ia menyebut para anak muda itu pergi ke kota yang justru membuat mereka hidup dalam zona abu-abu ekonomi.
Selain itu, Anies juga mengungkit narasi 'anak muda pekerja keras'. Anies melihat ada tersembunyi kenyataan yang lebih pahit di balik narasi tersebut.
"Mereka bertahan hidup, bukan bertumbuh. Mereka sibuk, tapi tak selalu sejahtera. Dan bila sistem tetap diam, maka yang muncul adalah generasi pekerja yang kelelahan dalam senyap," imbuhnya.
Anies juga bertanya terkait kesempatan yang sama untuk seluruh anak muda Indonesia. Dia menyebut tak semua bisa terhubung dengan dunia digital, AI, coding, bahkan ada yang masih berjuang untuk mendapatkan sinyal. Karena itu, menurutnya ada kesenjangan digital saat ini.
Anies lantas menegaskan waktu tak bisa diajak menunggu karena bonus demografi ada batas berlakunya. Dia mengingatkan dalam dua dekade ke depan, Indonesia akan menjadi negara dengan populasi menua.
"Ketika saat itu tiba, pertanyaannya bukan lagi soal banyaknya tenaga kerja. Tapi tentang siapa yang akan membiayai pensiun, layanan kesehatan, dan keberlangsungan fiskal. Jika sistem tak disiapkan hari ini, maka kita sedang menyambut krisis yang lebih dalam," sebutnya.
Kemudian, Anies pun menegaskan bonus demografi bukan lagi hadiah tapi ujian. Dia juga menekankan bonus demografi tidak sekadar angka.
"Maka bonus demografi bukan hadiah, tapi ujian yang menantang kita untuk menyiapkan manusia dan tidak sekadar mengagungkan angka. Ujian yang mendesak kita menegakkan keadilan, bukan sekadar mengada-adakan pertumbuhan. Dan seperti janji kemerdekaan, ini pun harus dilunasi," tegasnya.
Anies lantas menyampaikan ada 3 hal yang bisa dilakukan dalam menghadapi bonus demografi. Pertama, kata dia, pendidikan yang selalu menjadi kunci. Kedua, lanjut Anies, membangun sistem ekonomi yang memberi ruang bagi yang kecil dan baru merintis.
"Ketiga, beri ruang bagi partisipasi anak muda dalam pengambilan keputusan. Mereka bukan sekadar pewaris masa depan tapi juga penentu hari ini," imbuh dia.
Anies lalu kembali menegaskan bonus demografi bukan sekadar angka. "Sekali lagi, bonus demografi bukan sekadar urusan angka, tapi soal arah dan keberanian memilih jalan. Masa depan tidak akan menunggu, tapi hanya berpihak pada mereka yang bersiap. Dan jika sistem memberi ruang, generasi muda hari inilah yang akan memenangkan Indonesia," tutup Anies.
Gibran Bicara Bonus Demografi
Sebelumnya, Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming sempat mengunggah video yang mengulas tentang bonus demografi pada 2030-2045. Dalam video itu, Gibran juga membahas peluang besar Indonesia yang perlu dikejar di tengah berbagai tantangan global.
"Saat ini, Indonesia berada dalam momen yang sangat menentukan. Berada di tengah beragamnya tantangan global, baik itu ekonomi, perang dagang, geopolitik, maupun perubahan iklim yang membawa perubahan di berbagai sektor. Tapi di sisi lain, Indonesia sebagai negara yang besar, sebagai negara yang menaungi kehidupan 284 juta penduduknya, harus tetap tumbuh, harus tetap lincah, dan adaptif," kata Gibran dalam video unggahan di saluran YouTube resminya dilihat, Minggu (20/4).
"Teman-teman, tantangan ini memang ada, bahkan begitu besar. Tapi yakinlah, peluang kita juga jauh lebih besar. Tentu banyak yang sudah mendengar tentang bonus demografi, kondisi di mana lebih dari separuh penduduk suatu negara berada pada usia produktif. Ya, Indonesia akan mendapatkan puncak Bonus Demografi di tahun 2030 sampai tahun 2045," sambung dia.
Gibran menyebut puncak bonus demografi ini hanya terjadi sekali dalam peradaban suatu bangsa. Dia pun menggaungkan semua pihak dapat memanfaatkan peluang besar dengan adanya puncak bonus demografi tersebut.
(***)