Hijau Itu Nyata: Dari Ujung Kampung ke Panggung Dunia

R24/lin
Hijau Itu Nyata: Dari Ujung Kampung ke Panggung Dunia
Hijau Itu Nyata: Dari Ujung Kampung ke Panggung Dunia

RIAU24.COM - Di antara kabut pagi yang menggantung tipis di tepian Sungai Siak, terlihat sosok Surono (43) sibuk merawat tanaman nanas di kebunnya di Desa Suak Merambai, Kabupaten Siak, Riau. Tangannya cekatan, mencabuti gulma di antara barisan tanaman yang tumbuh subur di lahan satu hektare miliknya—lahan yang dulu pernah ia bakar demi menanam cepat.

“Dulu kalau mau buka lahan ya dibakar. Itu yang diajarkan dari kecil,” kenangnya. “Tapi sekarang, saya tanam secara organik. Lahan subur, hasil bagus, dan saya nggak merusak hutan lagi.”

Perubahan itu berawal dari krisis. Setelah panen karet gagal dan banjir merendam sawahnya, Surono nyaris menyerah. Namun, sebuah peluang muncul: pelatihan pertanian berkelanjutan dari Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), unit operasional APRIL Group. Ia mendaftar. Belajar. Dan kini, ia tak hanya punya kebun nanas yang produktif, tapi juga menjadi agen perubahan di desanya.

Cerita Surono hanya satu dari ratusan di Siak. Seiring dengan penguatan komitmen APRIL dalam program pelibatan masyarakat sekitar hutan, desa-desa yang dulunya bergantung pada pembakaran kini beralih menjadi pusat kegiatan produktif yang selaras dengan alam.

“Dulu warga skeptis. Tapi setelah panen berhasil dan harga jual naik, mereka mulai ikut,” ujar Rina Maulina, fasilitator Community Development RAPP yang mendampingi beberapa desa di Siak. “Sekarang, warga sendiri yang jadi penyuluh buat tetangga lainnya.”

Kolaborasi yang terbangun antara warga dan perusahaan menciptakan ekosistem sosial yang mendorong konservasi hutan. Di sejumlah desa seperti Suak Merambai, Teluk Lanus, dan Dayun, warga bahkan membentuk tim swadaya untuk menjaga hutan desa dari kebakaran dan pembalakan liar.

Dari ladang-ladang kecil hingga kebun rakyat, lahir praktik pertanian organik, budidaya madu hutan, dan pengolahan rotan yang memberikan nilai ekonomi nyata—tanpa harus mengorbankan kelestarian.

Transformasi itu tak berdiri sendiri. Di belakangnya ada visi besar bertajuk APRIL2030, komitmen berjangka panjang untuk mencapai nol emisi karbon bersih, tanpa deforestasi, dan pengelolaan lanskap secara terpadu dalam skala besar.

“Keberlanjutan bukan cuma tanggung jawab, tapi fondasi bisnis masa depan,” kata Sihol Aritonang, Presiden Direktur RAPP. “Ekonomi hijau membuka peluang besar untuk inovasi, kesejahteraan, dan daya saing global.”

Langkah itu diwujudkan dalam bentuk nyata: pemantauan satelit untuk mencegah kebakaran hutan, penggunaan drone untuk pemetaan lahan, dan transisi ke energi terbarukan di berbagai lini operasional. Siak, dengan hamparan hutan tropis dan kultur masyarakat agrarisnya, menjadi lokasi penting dalam implementasi program ini.

Sementara itu, Asia Pacific Rayon (APR)—unit bisnis lain dari grup ini—menjadi pelopor industri tekstil berkelanjutan di Asia Tenggara. Dengan menggunakan serat alami dari hutan yang dikelola secara lestari, APR tak hanya mengurangi jejak karbon industri fashion, tetapi juga membuka ribuan lapangan kerja lokal, termasuk di Siak.

Perubahan sosial dan ekologis di Siak tak akan menggema tanpa peran media. Melalui Anugerah Jurnalistik APRIL-APR (AJAA 2025), para jurnalis diajak menyusuri desa-desa binaan untuk merekam cerita yang jarang tersorot kamera: perempuan kepala kelompok tani, anak muda yang berbisnis olahan rotan, hingga komunitas pengolah madu hutan.

“Saya kira ini cuma liputan lapangan biasa,” ujar Maria Simorangkir, jurnalis lepas dan finalis AJAA tahun lalu. “Tapi saya pulang dengan perspektif baru: bahwa solusi iklim bisa dimulai dari desa.”

AJAA bukan sekadar kompetisi, tetapi platform kolaborasi antara jurnalis, komunitas, dan perusahaan dalam menyuarakan pentingnya keberlanjutan dari sisi kemanusiaan. Bukan dari angka dan grafik, tapi dari wajah, kerja keras, dan harapan masyarakat.

Kabupaten Siak, dengan sejarah panjang sebagai pusat Kesultanan Melayu dan kekayaan alamnya, kini berdiri di persimpangan antara tradisi dan transisi. Hutan-hutan di sekitarnya tak lagi hanya dilihat sebagai ladang eksploitasi, tetapi sebagai benteng terakhir dalam menghadapi krisis iklim.

“Dulu saya cuma mikir makan hari ini,” ujar Surono sambil memandang anaknya yang berlari di antara pohon. “Sekarang saya mikir, bisa nggak anak saya nanti tetap lihat hutan ini?”

Pertanyaan itu kini hidup di banyak benak warga Siak. Kolaborasi antara perusahaan, masyarakat, pemerintah, dan media membentuk budaya baru: menempatkan keberlanjutan bukan di pinggir, tetapi di pusat peradaban.

Melalui pengelolaan lanskap berkelanjutan, APRIL dan APR telah membuktikan bahwa menjaga hutan bukan hanya mungkin, tetapi menguntungkan—secara sosial, ekonomi, dan ekologis.

Kini, Siak tak lagi hanya dikenal lewat sejarah dan keindahan arsitektur istananya. Ia menjadi contoh bagaimana transformasi dari bawah bisa memberi pengaruh ke atas—dari desa ke dunia.

Apa yang dulunya hanya kebun kecil dan kerajinan rumahan, kini jadi bagian dari rantai nilai hijau global. Dari tanah yang pernah terbakar, tumbuh harapan. Dari kampung yang dulu terisolasi, muncul gagasan besar.

Hijau itu bukan mimpi. Di Siak, hijau itu nyata. Dan dari ujung kampung ini, kita semua diajak pulang—ke hutan, ke bumi, dan ke masa depan yang lebih lestari.(Lina Lestari)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak