RIAU24.COM -Di tengah hiruk-pikuk transisi politik nasional pasca-pemilu, sebuah isu yang tampak sepele kembali membetot perhatian publik: keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo. Bukan sekadar formalitas administratif, perihal ijazah ini menjelma menjadi simbol dari krisis kepercayaan yang kian menganga antara rakyat dan kekuasaan.
Selama bertahun-tahun, suara-suara yang mempertanyakan latar belakang pendidikan Presiden hanya bergaung di pinggiran ruang publik. Namun kini, dengan semakin banyaknya pihak yang berani angkat bicara, tekanan terhadap Presiden untuk menunjukkan secara terbuka dokumen akademiknya semakin menguat.
Aksi terbaru datang dari Solo, kota kelahiran Jokowi. Sekelompok warga, yang menamai diri sebagai relawan kebenaran, menyambangi rumah pribadi Jokowi dan secara terbuka meminta satu hal sederhana: tunjukkan ijazahmu.
Bagi Rocky Gerung, filsuf politik yang kerap menjadi suara oposisi moral terhadap kekuasaan, ini bukan sekadar soal pendidikan formal seorang pemimpin. Ini adalah persoalan integritas dan transparansi yang menjadi fondasi moral dari kekuasaan demokratis.
"Masalah ini kecil, bisa selesai dalam sehari. Tapi kenapa Presiden menghindar? Itu yang membuat publik mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan," tegas Rocky dalam sebuah diskusi daring bersama Hirsen Arief.
Dalam narasi Rocky, problem utama bukan hanya ketiadaan dokumen, melainkan ketakutan kekuasaan terhadap keterbukaan. Ia menyebut Universitas Gadjah Mada (UGM), almamater yang disebut-sebut tempat Jokowi menempuh studi, sebagai institusi yang kehilangan keberanian akademik.
"UGM itu harusnya berdiri di atas prinsip akademik. Tapi mereka malah jadi konservatif dalam menghadapi masalah publik. Ini bukan lagi soal Jokowi, tapi soal integritas lembaga pendidikan," ujar Rocky.
Keengganan kampus untuk secara terbuka menunjukkan dokumen asli hanya mempertebal dugaan publik bahwa ada yang tidak beres.
Lebih dari sekadar institusi pendidikan, negara juga ikut terlibat dalam pembentukan benteng pertahanan terhadap desakan transparansi ini. Dua nama—Bambang Tri Mulyono dan Gus Nur—adalah pengingat bahwa pertanyaan soal ijazah bisa berujung penjara. Keduanya dijerat pasal penyebaran hoaks setelah menyuarakan keraguan terhadap keabsahan ijazah Presiden. Tapi publik justru bertanya balik: jika benar-benar sah, mengapa negara harus bersusah payah mengkriminalisasi mereka yang bertanya?
"Bayangkan, dua orang masuk penjara hanya karena bertanya soal dokumen yang seharusnya bisa ditunjukkan dalam 5 menit. Kita sedang melihat negara yang kalap menghadapi pertanyaan sederhana," kata Rocky.
Baginya, ini adalah gejala dari negara yang kehilangan kepercayaan diri moral untuk menjawab kritik. Sebuah negara yang takut terhadap rakyatnya sendiri.
Tak berhenti di situ, Rocky juga menyoroti dampak etik dari persoalan ini terhadap legitimasi kekuasaan berikutnya. Jika Jokowi memberikan dukungan penuh kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, maka absennya kejelasan soal ijazah bisa menciptakan bayang-bayang cacat moral terhadap pemerintahan baru.
"Kalau Jokowi cacat moral karena tak bisa menunjukkan ijazahnya, maka dukungannya kepada Prabowo ikut cacat secara etis. Legitimasinya bermasalah," ungkap Rocky dalam nada tegas.
Namun, pertanyaan yang tak kalah penting adalah: mengapa Presiden terus menghindar? Dalam pandangan Rocky, Jokowi kini berada dalam keadaan frustrasi politik. Ia tahu bahwa pertanyaan soal ijazah akan terus muncul selama tidak ada jawaban terbuka.
"Kalau benar punya, kenapa tidak dibuka? Kalau hilang, bilang hilang. Kalau tidak punya, ya akui saja. Ini bukan soal lulus atau tidak, tapi soal kejujuran," tegas Rocky. Dalam sindirannya yang khas, ia menambahkan: "Rakyat tidak menuntut Presiden pintar, rakyat hanya ingin Presiden jujur."
Aksi warga di Solo menandai babak baru dalam relasi antara masyarakat sipil dan kekuasaan. Ketika negara dan institusinya menutup diri, maka rakyat pun bergerak. Rocky melihat ini sebagai gejala berbahaya dalam demokrasi.
"Kalau negara tidak menjelaskan, maka publik akan mengarang narasi sendiri. Dan itu berbahaya. Akan ada polarisasi, ada kecurigaan, dan potensi kekerasan," ujarnya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan, menurut Rocky, adalah bagaimana krisis domestik ini bisa memengaruhi reputasi Indonesia di mata internasional.
"Kalau dunia internasional tahu seorang Presiden di Indonesia tidak bisa menunjukkan ijazahnya, itu jadi skandal reputasi nasional," kata Rocky dengan nada prihatin.
Isu ini mungkin terlihat sepele, tapi efeknya merembet jauh ke dalam struktur demokrasi. Ia menantang otoritas moral negara, menyingkap ketakutan elit terhadap transparansi, dan membuka luka lama soal akuntabilitas.
"Satu kertas folio bisa merusak legitimasi seluruh sistem politik kita kalau tidak dijelaskan. Dan kita sedang menuju ke sana," pungkas Rocky.
Di akhir narasi ini, publik tidak lagi sekadar menunggu jawaban. Mereka sedang menakar masa depan demokrasi—apakah ia masih ditopang oleh kejujuran dan keberanian, atau justru diruntuhkan oleh kebisuan yang sistemik.
(***)