RIAU24.COM - Kepala Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar Yusri Erwin meminta agar koperasi produsen sukses sawit makmur (Koppsa-M) dikembalikan ke masyarakat setempat.
Yusri menyampaikan hal tersebut menyusul sepak terjang pengurus Koppsa-M yang tidak pernah lepas dan kontroversi, dan saat ini dimotori Nusirwan malah mengabaikan para petani dengan manuver-manuver yang merugikan anggota.
"Dari hati saya yang paling dalam, sebagai anak asli Desa Pangkalan Baru, yang lahir dan besar di sini, tidak rela Koppsa-M menjadi alat kekuasaan sekelompok orang yang bukan warga setempat," kata dia.
Ia mengatakan Nusirwan sendiri bukanlah warga kampung asli Pangkalan Baru, melainkan pendatang dan kemudian menjadi pengurus koperasi.
Sebelumnya, pria sepuh yang berusia lebih dari setengah abad itu mengaku sempat menaruh harapan besar kepada Nusirwan untuk memperbaiki hubungan dengan bapak angkat Koppsa-M, PTPN IV Regional III.
Terlebih, ketua sebelumnya Anthony Hamzah divonis bersalah dan dihukum penjara atas kasus yang menimpanya.
Harapan itu muncul setelah Nusirwan sendiri sebelumnya merupakan karyawan PTPN IV Regional III.
"Tapi bukannya membantu memperbaiki, malah memperkeruh keadaan. Akibatnya, kami semua yang jadi korban," tegasnya.
Yusril seraya menyeka bulir air mata yang mengalir di pelupuk yang termakan usia itu mengatakan bahwa Koppsa-M adalah harapan bagi anak cucu Desa Pangkalan Baru.
Dia tidak rela pengurus yang ada saat ini, dengan berbuat semena-mena, termasuk dengan mudahnya memecat pengurus lainnya yang tidak sejalan, meneruskan pola-pola tersebut.
Koppsa-M sendiri hingga kini masih menghadapi ragam sengkarut persoalan. Setelah terakhir kali ketua koperasi periode sebelumnya, Anthony Hamzah, tersandung masalah hukum hingga divonis bersalah, kini pengurus koperasi yang menaungi ratusan petani sawit di Kabupaten Kampar menghadapi persoalan atas keserakahan pengurus yang baru.
Seolah tidak belajar dari masa lalu, para pengurus koperasi berupaya melawan negara dengan cara-cara yang tidak elok. Kini, sang ketua Nusirwan yang sebelumnya menjanjikan akan melakukan transformasi, tak ubahnya seperti pendahulunya.
Akibatnya, yang menjadi korban adalah para petani itu sendiri. Sengkarut Koppsa-M terjadi berlarut-larut. Seakan tabiat, setiap pengurus yang baru selalu berupaya mengambil keuntungan secara instan.
Persoalannya, para petani Koppsa-M sendiri telah beralih tangan. Meskipun dokumen agunan berada di Bank, mereka memperjualbelikan aset secara gelap. Saat ini, mungkin hanya segelintir petani asli Koppsa-M tersebut. Sebagian besar lainnya, adalah mereka yang membeli kebun secara bawah tangan.
Karena hal itulah, mereka getol memutihkan areal yang mereka anggap telah dilakukan "transaksi" secara ilegal. Termasuk Nusirwan sendiri, juga bukan merupakan penduduk asli Desa Pangkalan Baru.
Kini, mereka digugat oleh sang Bapak Angkat, PTPN IV Regional III karena enggan mengakui hutang dan berupaya memutihkannya dengan segala cara. Perusahaan menegaskan bahwa langkah hukum itu bukan untuk membebani para petani, melainkan sebagai bentuk kepastian hukum akan kebijakan pengurus yang tidak transparan.
Mustaqim, salah satu petani asli Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, yang juga termasuk petani generasi awal yang tergabung ke dalam koperasi tersebut mengatakan bahwa pengurus seharusnya lebih membuka diri dengan adanya gugatan dari PTPN IV Regional III tersebut.
"Harus kita akui bahwa pengurus ini sudah salah. Kita punya kewajiban untuk mengakui hutang dan menyicilnya. Namanya hutang itu ya wajib dibayar. Di dunia manapun, ya memang seperti itu seharusnya," kata dia.
PTPN IV Regional III sendiri saat ini tengah mengambil langkah hukum terhadap pengurus dan 622 petani yang tergabung ke dalam Koppsa-M. Langkah hukum itu dilayangkan setelah pengurus tanpa alasan yang jelas enggan membayar cicilan pembangunan kebun sawit seluas 1.650 hektare.
Dalam hal ini, PTPN IV Regional III yang sebelumnya bernama PTPN V merupakan avalis atau penjamin dalam pola kemitra kredit primer dengan Koppsa-M. Selama ini, perusahaan milik negara tersebut menutupi cicilan kepada debitur karena pengurus yang enggan mengakui dan menyicil hutang tersebut.***