RIAU24.COM - Pada aspek kuantitatif, Pemilu Indonesia cenderung mudah diterka. Bilamana, masyakarat kita masih sangat permisif terhadap intervensi, sementara personil/aparat penyelenggara Negara memaklumi penyelewengan yang disadarinya.
Penguasaan atas cara mengelola keduanya, akan lebih mudah untuk mengonversi gaya main menjadi hasil akhir suara yg diperlukan.
Dua variabel buruk itu sulit untuk di atasi, ketika kepemimpinan Nasional kita lebih terbuka dengan kepalsuan. Tidak membuka diri terhadap penataan negara berdimensi perilaku mulia, Justru meriasi wajah kepemimpinan dengan simbol-simbol abstrak. Abai terhadap pembangunan kualitas sumber daya manusia, alih-alih dalam proses kaderisasi dan seleksi kepemimpinan.
Celakanya, yang seperti itu berkoloni, mengorkestrasi kehendaknya dengan pendekatan strategi menang menindas, atau kalah asalkan menang. Mendesain jalannya kompetisi tanpa peta moral, meniadakan prinsip keberlangsungan ekosistem kompetisi yang sehat bagi pelaku-pelaku masa depan.
Kita tidak perlu membuang waktu menganalisisnya dari perspektif sistem, sebab subsistemnya umpama pilar-pilar dan atasan sebuah bangunan. Sementara yang rusak adalah fondasinya. Yakni, mentalitas kepemimpinan Republik yang otentik. Suatu format kepemimpinan yang memahami kausalitas sebuah kekuasaan dan kemanusiaan.
Tentu, dari kalangan dan derajat apapun mereka, adalah segenap anak bangsa yang bertanggung jawab untuk tetap memegang teguh keluhuran pendirian Republik ini. Yang semoga tak luput juga meresapi sejarah demi sejarah perjalanan bangsa ini.
Ketika kita harus bertengkar dengan pihak asing dan berdinamika dengan orang-orang kita sendiri, untuk mencari dan menelaah kesesuaian antara seluruh potensi domestik menjadi sebuah Negara yang bermartabat. Bung hatta, yang miskin harta tapi kaya akal dan hati itu dalam catatannya yang fenomenal (Demokrasi Kita) sedari awal sudah menggelisahi itu.
Kini, perjalanan Pemilu 2024 mempertontonkan fakta-fakta yang paradoks. Sebagai pendukung AMIN, keberpihakan ini adalah pilihan objektif. Tidak semerta mengkultuskan pilihan ini sebagai opsi tersuci. Nyatanya, strategi penggunaan infrastruktur kekuasaan dalam Pemilu Rakyat dijawab tuntas oleh AMIN melalui gerakan politik emansipatoris.
Berada di lingkungan minoritas elit, AMIN mampu memunculkan eksistensi akal budi di hadapan rakyat. Naif, Pemerintah yang punya data dan komponen penggerak, mengarusutamakan simpati rakyat mayoritas, dengan pemograman Bansos di masa kampanye Pilpres.
Penggalangan pemilih dilakukan secara teritori taraf kehidupan, berbasis pada lubuk-lubuk pemilih yang membutuhkan. Pergerakannya dilakukan oleh aparat negara yang sesungguhnya berkewajiban Netral. Kewajiban netralitas itu diabaikan, di lakukan secara konsolidatif maupun penekanan strutktural pada multilevel.
Kedaulatan rakyat runtuh. Tanpa malu dan ragu, aktor utama dan turunannya gegap gempita berhadap-hadapan dengan segerombolan rakyat yang melek-melek cemas terhadap demokrasi Indonesia yang buram. Mereka bergembira bersama rakyat yang terkelabui, dan berkelindan dalam pusaran kemunduran demokrasi.
Sebelum pemungutan suara berlangsung, banyak pihak yang percaya, Suara terbanyak adalah milik Prabowo-Gibran. Sebagai pendukung AMIN, saya telah meyakini suara rakyat mayoritas untuk AMIN adalah keajaiban yang akan menjadi berulangnya sejarah Pilpres 2014. Tidak sedikit yang berpendapat, kemenangan Jokowi di 2014 adalah kemenangan rakyat. Akibat dari diwariskannya oleh SBY sebuah platform negara Demokrasi yang merangkak Maju. Berbanding terbalik, tahun 2024 Jokowi semacam ingin mewariskan pelajaran berharga, yakni mengenang kembali Pemilu 1997. Absurdnya, dibantu oleh SBY.
Kini, apa yang akan dilakukan oleh Pendukung AMIN dan GAMA adalah sehormat-hormatnya ikhtiar bernegara yang benar. Tidak sesederhana anggapan soal mengakui atau menerima kekalahan. Kontestasi boleh saja diakui sudah menemukan ujungnya, tapi konstelasi politik harus tetap aktif. Sebab, harga beras dan tarif tol baru saja naik, apalagi program makan dan susu gratis sudah kontroversial sebelum di jalankan. Rakyat banyak mesti waras.