RIAU24.COM - Banjir yang melanda Aceh Tamiang memaksa warga bertahan dalam kondisi serba terbatas. Di tengah terputusnya akses pangan segar dan sulitnya memperoleh air bersih, mi instan menjadi pilihan paling mudah dan cepat dikonsumsi, bahkan selama berhari-hari.
Keterbatasan air dan bahan bakar untuk memasak membuat sebagian pengungsi terpaksa mengonsumsi mi instan dalam kondisi mentah. Situasi darurat ini kemudian memunculkan pertanyaan penting: apa dampaknya bagi kesehatan jika mi instan mentah dikonsumsi berulang, dan adakah cara yang lebih aman untuk mengonsumsinya dalam kondisi darurat?
Asal Mengapa Pengungsi Terpaksa Makan Mi Instan Mentah
Warga terdampak banjir di Aceh Tamiang dilaporkan terpaksa mengonsumsi mi instan karena tidak ada pilihan. Bahkan, ada yang harus mengonsumsinya mentah-mentah akibat keterbatasan air bersih, gas, dan listrik di tenda pengungsian.
Listrik hanya menyala 1-2 jam per hari, sehingga akses memasak nyaris tidak tersedia. Sejumlah pengungsi pun dilaporkan mengalami keluhan kesehatan, seperti gatal-gatal dan sesak napas. Warga menyebutkan kebutuhan mendesak berupa air bersih, peralatan dapur, kompor gas, dan penerangan.
Kondisi tersebut mencerminkan tantangan umum di lokasi bencana, ketika akses pangan segar dan sarana memasak terputus. Mi instan dipilih karena mudah didistribusikan dan memiliki daya simpan lama, meski tidak dirancang sebagai pangan utama jangka panjang. Hal ini sejalan dengan temuan Zhu dkk. dalam International Journal of Environmental Research and Public Health (2020), yang menyebut bahwa pangan darurat umumnya diprioritaskan berdasarkan ketahanan simpan dan kemudahan distribusi, bukan kualitas gizi optimal. The Sphere Handbook juga menegaskan bahwa keterbatasan air bersih kerap menjadi kendala utama dalam pengolahan makanan di pengungsian.
Meski mi instan memiliki daya simpan yang lebih lama, apakah aman jika dikonsumsi mentah-mentah?
Apakah Mi Instan Mentah Aman Dikonsumsi?
Mi instan sebenarnya tidak sepenuhnya mentah. Dalam proses produksinya, mi instan telah melalui tahap pra-pemasakan sebelum dikeringkan, sehingga relatif aman secara mikrobiologis jika diproduksi sesuai standar, sebagaimana dijelaskan dalam Standard for Instant Noodles dari Codex Alimentarius Commission (CXS 249-2006) dan keterangan World Instant Noodles Association. Meski demikian, aman tidak berarti dianjurkan, karena konsumsi mi instan mentah secara berulang tetap berisiko bagi pencernaan dan kualitas gizi.
Dengan kondisi yang terpaksa ini, bagaimanakah faktor risiko kesehatan yang perlu diwaspadai jika mi instan mentah dikonsumsi berulang, terutama pada balita?
Apa yang Idealnya Disiapkan untuk Pangan Darurat Pengungsi?
Rekomendasi praktis untuk penyedia bantuan dan relawan:
- Prioritaskan air bersih: The Sphere Handbook menetapkan kebutuhan minimum 15 liter air per orang per hari, sementara WHO merekomendasikan sekitar 20 liter per orang per hari sebagai jumlah ideal dalam situasi darurat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti minum, memasak, dan kebersihan pribadi dalam situasi darurat.
- Sertakan makanan siap-saji bergizi: Studi literatur tentang kebutuhan pangan darurat yang diterbitkan Romero-Garcés dkk. dalam SSRN Electronic Journal (2023) merekomendasikan komponen paket makanan darurat yang mencakup fortified foods dan makanan siap santap (ready-to-eat) untuk mencegah kekurangan energi dan mikronutrien dalam situasi bencana.
- Edukasi singkat di posko: anjurkan bila ada sedikit air untuk merendam mi selama beberapa menit atau menggunakan air panas sederhana (mis. pemanas tenda) untuk mengurangi beban pencernaan; sediakan pula informasi untuk kelompok rentan agar mendapatkan prioritas makanan matang.
- Perencanaan logistik jangka panjang: pengelola bencana dan donor hendaknya memasukkan alokasi bahan bakar/kompor portabel dan pasokan air untuk memasak dalam paket bantuan agar opsi makanan yang lebih sehat tersedia.