RIAU24.COM - Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung menelan biaya yang tinggi dalam pembangunannya. Investasinya mencapai US$ 7,27 miliar atau sekitar Rp 120,68 triliun (Rp 16.600/US$).
Adapun 75% dari investasi ini dibiayai dengan utang.
Alhasil, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang menjadi operator Whoosh harus menanggung beban berat dari pembayaran utang pokok dan bunga atas pinjaman terhadap China tersebut.
Di tengah sorotan mengenai Whoosh tersebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi salah satu opsi untuk pembayaran cicilan utang.
Hal tersebut tersirat dari paparan Presiden Prabowo Subianto. Dia mengatakan negara memiliki kemampuan untuk melakukan pembayaran cicilan utang proyek yang memakan biaya US$ 7,27 miliar.
Hal ini diungkapkan Prabowo, usai meninjau Stasiun Manggarai dan meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru, Selasa (4/11/2025). Prabowo menegaskan untuk semua pihak untuk tidak meributkan permasalahan hutang ini.
"Jadi sudah lah, saya sudah katakan presiden RI yang ambil alih tanggung jawab. Jadi tidak usah ribut, kita mampu, dan kita kuat. Duitnya ada," katanya.
Direktur Eksekutif Center of Economic And Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai penggunaan APBN untuk melunasi utang tidak sesuai dengan kontrak awal konsorsium KCIC.
Menurutnya, proyek ini seharusnya bersifat business to business (B2B), bukan ditopang oleh APBN.
"kalau APBN penuh, situasi sekarang defisitnya kan diperkirakan melebar dan khawatir dengan tambahan beban untang KCIC ada program yang akan diefisiensikan dari belanja pemerintah hanya untuk melakukan penyertaan modal negara ke KAI untuk bayar utang kereta cepat. Kalau gitu kan sama aja dari awal APBN murni dong, buat apa kerjasama dengan pihak China," ujar Bhima kepada CNBC Indonesia, Rabu (5/11/2025).
Bhima mengungkapkan kerja sama dengan pihak China seharusnya dapat meringankan beban APBN. Jika pembiayaan utang tetap dipaksakan menggunakan APBN, hal tersebut berpotensi mendorong pelebaran defisit atau penambahan utang negara.
Alhasil, dampaknya, masyarakat yang tidak menggunakan kereta cepat juga ikut harus menanggung beban melalui pajak yang dibayarkan.
"Penyertaan modal negara ke kereta api itu untuk mendukung kereta reguler yang sekarang aja masih kurang dana pembangunan terutama di luar jawa untuk jalur kereta jadi ngapain? negara mensubsidi transportasi untuk kelompok menengah atas," ujarnya.
Bhima menilai, seluruh beban proyek sebaiknya diserahkan kepada BUMN dan akan menjadi tanggung jawab Danantara.
Menurutnya, Danantara memiliki kapasitas keuangan yang cukup besar. Dengan dividen mencapai Rp 80 triliun yang sebagian besar saat ini ditempatkan pada surat utang pemerintah.
Maka dari itu, seharusnya Danantara mampu membantu KAI tanpa perlu melibatkan APBN.
"Karena itulah fungsi dari danantara untuk menyelesaikan proyek-proyek yang bermasalah yang ada di bawah BUMN. Solusi terbaik ya full danantara yang mengurus apakah nanti skemanya debt swap atau debt cancellation penghapusan bunga dan pokok hutang intinya harus ada cara-cara kreatif dalam negosiasi danantara disitu yang bermain peran bukan APBN atau setengah APBN," ujarnya.
(***)