RIAU24.COM -Pertanyaan besar muncul di ruang publik: mampukah Presiden Prabowo Subianto menyelesaikan masa jabatannya hingga 2029?
Sejumlah analis menilai tantangan terbesar bukan datang dari lawan politik ataupun gerakan aktivis, melainkan ancaman krisis ekonomi yang kian nyata.
Ekonom dan pengamat politik Antoni menilai gejala krisis fiskal sudah tampak di sejumlah daerah.
“Fenomena kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga 250 persen, bahkan 1.000 persen di Pati, Banyuwangi, Jombang, dan Cirebon, bukan sekadar kebijakan lokal. Ini cerminan krisis fiskal nasional,” ujar Antoni dalam sebuah diskusi publik yang disiarkan melalui kanal YouTube.
Menurutnya, keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Februari lalu untuk memangkas transfer ke daerah menjadi sinyal awal bahwa pusat tengah menghadapi keterbatasan fiskal.
“Daerah diminta mencari sumber pendapatan asli daerah sendiri. PBB dan pajak kendaraan bermotor menjadi sasaran utama. Kenaikan yang berlebihan bisa memicu keresahan sosial,” lanjutnya.
Antoni menyebutkan, penerimaan perpajakan negara pada semester pertama 2025 hanya mencapai Rp 895 triliun. Dari angka itu, sekitar Rp 398 triliun habis untuk pembayaran bunga utang.
“Artinya, 40 persen penerimaan pajak habis untuk membayar bunga. Dengan beban itu, fiskal kita sulit bertahan,” katanya.
Krisis Moneter Mengintai
Selain fiskal, ancaman krisis moneter juga dikhawatirkan terjadi. Antoni mengungkapkan, utang luar negeri Bank Indonesia melonjak 950 persen dalam lima tahun terakhir, dari Rp 2,8 triliun menjadi hampir Rp 28 triliun.
“Kurs rupiah bertahan bukan karena fundamental ekonomi, melainkan doping utang luar negeri. Jika arus utang berhenti, rupiah bisa tertekan hebat,” ujarnya.
Krisis moneter, lanjutnya, bisa muncul jika investor asing menahan atau menarik dananya dari Indonesia.
“Krisis fiskal sudah terjadi tahun ini. Krisis moneter bisa muncul tahun depan. Jika dua hal ini bertemu, dampaknya akan sangat cepat dan luas,” kata Antoni.
Korupsi Sistemik
Sementara itu, pengamat geopolitik Indrajit menyoroti faktor politik yang memperberat situasi. Menurutnya, kegagalan reformasi 1998 berakar dari sistem politik yang koruptif dan belum pernah dibenahi hingga kini.
“KPK salah fokus hanya pada gratifikasi, padahal masalah mendasar adalah sistem politik yang membidani korupsi di semua lini: pusat, daerah, legislatif, eksekutif, hingga yudikatif,” ujarnya.
Indrajit juga menyinggung dominasi korporasi global dan konglomerasi lokal dalam pembentukan regulasi pasca-Soeharto.
“Produk hukum kita lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dan konglomerasi daripada rakyat. Itu sebabnya pasca-1998 yang berhasil justru kekuatan dari luar, bukan bangsa sendiri,” ucapnya.
Ia menilai, Prabowo menghadapi dilema strategis: apakah mampu membaca “penyebab hulu” krisis atau hanya mengurusi gejala permukaan.
“Kalau hanya berhenti di gejala, strategi nasional akan rapuh,” katanya.
Oligarki Menguat
Sementara itu, akademisi politik Mulyadi menekankan bahwa rezim pascareformasi pada dasarnya dikendalikan tiga jenis oligarki: badut politik, bandar politik, dan bandit politik.
“Elit politik kita hanya berputar di tiga kategori itu. Oligarki politik yang mempertontonkan kekuasaan, oligarki ekonomi yang menguasai sumber daya, dan intelektual yang berubah menjadi bandit politik,” ujarnya.
Menurut Mulyadi, bila Prabowo tidak melibatkan kelompok-kelompok yang disebutnya sebagai “orang-orang baik”, pemerintahannya berisiko menjadi sekadar fase peralihan menuju kondisi yang lebih suram.
“Jika orang-orang baik tidak dipanggil masuk, rezim ini hanya akan menjadi fase antara. Kita bisa masuk ke era gulita, bukan sekadar gelap,” katanya.
(***)