Itu Hanya Gimmick! Rocky Gerung Tantang Prabowo Pangkas Oligarki Besar Mulai Taipan-Ordal Kekuasaan

R24/zura
Itu Hanya Gimmick! Rocky Gerung Tantang Prabowo Pangkas Oligarki Besar Mulai Taipan-Ordal Kekuasaan. (@SekretariatKabinet)
Itu Hanya Gimmick! Rocky Gerung Tantang Prabowo Pangkas Oligarki Besar Mulai Taipan-Ordal Kekuasaan. (@SekretariatKabinet)

RIAU24.COM -Penghapusan tantiem bagi komisaris BUMN oleh Presiden Prabowo Subianto dipandang hanya sebagai langkah simbolis.

Pengamat politik Rocky Gerung menilai kebijakan itu tidak menyentuh akar persoalan oligarki.

“Prabowo berani pada komisaris, tapi bungkam di depan taipan yang menopang kekuasaan,” ujarnya.

Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah tegas terhadap jajaran komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam pidatonya saat menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 di DPR, ia menegaskan bahwa tantiem—bonus di luar gaji dan tunjangan—dihapus.

“Yang tidak setuju, silakan mundur,” kata Prabowo dalam pidatonya, yang disambut riuh oleh anggota dewan.

Kebijakan tersebut langsung mendapat sorotan luas. Publik menilai langkah itu populer karena menyentuh isu ketimpangan sosial yang kerap menjadi keluhan masyarakat. Selama ini, bonus miliaran rupiah yang diterima komisaris BUMN dipandang kontras dengan kondisi ekonomi rakyat yang masih sulit.

Meski demikian, sejumlah kalangan menilai kebijakan ini baru sebatas simbolis.

Pengamat politik Rocky Gerung menilai langkah tersebut tidak akan banyak mengubah wajah oligarki yang selama ini menguasai perekonomian.

“Itu hanya gimmick moral. Serakahnomic tidak hilang dengan memotong bonus komisaris. Serakah itu ada di hulu kekuasaan, di cara negara memberi konsesi, proyek, dan rente kepada lingkaran dalam,” kata Rocky dalam sebuah diskusi publik.

Menurut Rocky, persoalan utama bukanlah tantiem semata, melainkan arsitektur kekuasaan yang membuat kekayaan negara mengalir kepada segelintir elite. Karena itu, ia menilai Prabowo baru menyentuh permukaan persoalan.

Langkah penghapusan tantiem juga dibaca sebagai “tes loyalitas” bagi komisaris. Pemerintah ingin memastikan siapa yang bersedia tetap bekerja untuk negara meski tanpa bonus tambahan, dan siapa yang mundur karena kehilangan privilese.

“Prabowo berani pada komisaris, tapi apakah berani pada taipan yang menopang kekuasaannya? Itu yang harus diuji,” ujarnya.

“Orang miskin akan bilang, bagus komisaris dipotong bonusnya. Tapi mereka tidak sadar, kekayaan negara tetap mengalir ke oligarki besar. Jadi yang terjadi hanyalah kosmetik, bukan reformasi,” katanya.

Dalam pandangan Rocky, keputusan Prabowo justru bisa dilihat sebagai strategi politik untuk membeli legitimasi sosial dengan harga murah.

“Gestur moral seperti ini memberi efek psikologis bahwa rakyat didengar. Tetapi itu ibarat obat bius, bukan obat penyembuh. Rakyat jadi tenang sesaat, padahal sakitnya tetap ada,” ujar dia.

Ia pun menegaskan, jika Prabowo sungguh ingin melawan budaya serakahnomic, maka fokus tidak boleh berhenti di BUMN saja.

“Lawan oligarki di balik proyek-proyek besar. Tagih pajak progresif kepada kelompok superkaya. Hentikan politik konsesi yang jadi mesin rente. Itu baru keberanian. Kalau hanya potong tantiem, itu sekadar gimik untuk tepuk tangan,” kata Rocky.

Kritik Rocky memperlihatkan jurang antara simbol dan substansi. Di satu sisi, penghapusan tantiem memang menekan kecemburuan sosial dan memberi sinyal bahwa negara tidak lagi memberi ruang untuk rente jabatan. Namun, di sisi lain, struktur ketimpangan ekonomi-politik masih tetap bertahan.

“Negara kuat bukan karena berani memotong bonus komisaris. Negara kuat karena berani memutus nadi serakah di lingkaran kekuasaan. Kalau itu tidak disentuh, serakahnomic akan tetap hidup, hanya berganti wajah.

Namun, kebijakan ini tidak lepas dari risiko politik. Oligarki yang selama ini menikmati keuntungan dari jabatan di BUMN bisa merasa kepentingannya terusik. Pemerintah pun dituntut untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan kepercayaan publik.

Di sisi lain, tantangan ekonomi juga kian nyata. Meski pertumbuhan ekonomi nasional masih berada di kisaran 5 persen, realitas di lapangan menunjukkan gejala lain: pemutusan hubungan kerja (PHK) senyap, daya beli melemah, dan tekanan sosial meningkat.

Dalam situasi ini, gestur moral seperti penghapusan tantiem memberi efek psikologis positif bagi masyarakat, walaupun belum menjawab persoalan struktural.

Praktis, langkah berikutnya yang ditunggu publik adalah reformasi tata kelola BUMN.

Apakah talenta terbaik masih mau menjadi komisaris tanpa tantiem?

Jawabannya bergantung pada transparansi, indikator kinerja yang jelas, serta proses seleksi berbasis kompetensi

Rocky menegaskan, kebijakan ini akan sia-sia bila tidak diikuti pembenahan yang lebih mendasar.

“Kalau Prabowo serius melawan serakah, hentikan politik konsesi yang jadi mesin rente. Jangan hanya berani pada komisaris, tapi bungkam di hadapan taipan,” ujarnya.

Penghapusan tantiem, pada akhirnya, menjadi ujian konsistensi bagi pemerintahan Prabowo. Apakah ini akan menjadi pintu masuk menuju reformasi yang lebih berani, atau berhenti sebagai langkah populis yang menenangkan kegelisahan sosial jangka pendek?

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak