Komisi X Nangis Merespons Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998 

R24/zura
Komisi X Nangis Merespons Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998.
Komisi X Nangis Merespons Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998.

RIAU24.COM -Rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Rabu (2/7) berubah menjadi forum penuh ketegangan emosional ketika pembahasan menyentuh luka lama: kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998.

Ketegangan memuncak ketika Wakil Ketua Komisi X DPR, My Esti Wijayanti, memotong penjelasan Fadli. Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.

“Semakin Pak Fadli bicara, saya kenapa semakin sakit ya,” ucap Esti dengan terbata. “Soal pemerkosaan, mungkin sebaiknya enggak perlu di forum ini Pak. Karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta.”

Esti menilai Fadli tidak menunjukkan kepekaan terhadap penderitaan korban. Ia merasa narasi Fadli berpotensi membuka luka dan mereduksi dampak psikologis yang masih membekas di masyarakat.

Air Mata di Tengah Rapat

Esti bukan satu-satunya anggota DPR yang larut dalam emosi. Mercy Barends, anggota Komisi X dari Fraksi PDI Perjuangan, juga tampak menangis saat memberikan pandangan. Ia mengaitkan kasus kekerasan seksual 1998 dengan pengalaman historis serupa di tingkat internasional.

“Apa yang terjadi saat itu, pemerintah Jepang menerima semua korban Jugun Ianfu. Duta besarnya sampai membungkuk. Kita bangsa sendiri, kenapa begitu berat menerima ini?” tutur Mercy seraya terisak.

Pernyataan itu merujuk pada People's Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery tahun 2000 di Tokyo, yang menyoroti pengakuan dan permintaan maaf Jepang terhadap korban eksploitasi seksual militer selama Perang Dunia II.

Fadli Zon Klarifikasi: Akui Kejadian, Persoalkan Diksi

Fadli Zon, yang kini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, membantah tudingan bahwa ia menyangkal peristiwa kekerasan seksual pada Mei 1998. Ia menyatakan bahwa dirinya mengakui kejadian tersebut terjadi, namun mempermasalahkan penggunaan istilah "massal".

“Saya tidak menyangkal. Dalam penjelasan saya, saya akui kejadian itu. Tapi kata 'massal' itu yang saya rasa perlu kita kaji ulang,” ujar Fadli.

Politikus Partai Gerindra itu juga menyebut bahwa laporan-laporan, termasuk yang diterbitkan oleh media seperti Tempo, mengandung kecenderungan untuk membangun narasi yang menyudutkan kelompok tertentu.

“Ditulis di majalah Tempo, seolah pelaku perkosaan massal itu berambut cepak, arahnya ke militer. Ini mengadu domba,” katanya. “Kita tidak ingin ini menjadi narasi yang tidak akurat.”

Fadli meminta adanya dokumentasi yang lebih presisi atas peristiwa sejarah tersebut. Ia menyebut sudah membaca laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan siap berdiskusi lebih lanjut secara akademik dan hukum.

Upaya Reduksi atau Klarifikasi?

Dalam sesi rapat, pimpinan sidang Lalu Hadrian Irfani harus turun tangan menengahi ketegangan antara Fadli dan anggota Komisi X lainnya. Meskipun Fadli menegaskan dirinya tidak punya maksud meremehkan atau menghapus jejak sejarah, sebagian anggota dewan menilai pendekatan naratifnya kurang empatik.

“Saya mengecam segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Tapi diksi ‘massal’ perlu didalami ulang, apakah itu representatif atau tidak,” ujarnya.

Fadli menyebut bahwa bila pelaku kekerasan dapat diidentifikasi, seharusnya tetap diproses hukum.

“Pelaku-pelaku ini harusnya bisa dihukum. Kalau bisa ditelusuri kelompok atau individu pelakunya, proses hukum harus berjalan,” tambahnya.

Polemik Penulisan Sejarah Nasional

Rapat tersebut juga membahas proyek penulisan ulang sejarah nasional yang berada di bawah kementerian yang dipimpin Fadli. Di tengah proses tersebut, sensitivitas terhadap tragedi Mei 1998 menjadi perhatian serius banyak pihak.

PDI Perjuangan, melalui rapat tersebut, bahkan menyerahkan dokumen-dokumen terkait pemerkosaan massal 1998 kepada Fadli Zon untuk ditelaah.

Kritik terhadap Fadli tidak hanya muncul dari sisi isi pernyataannya, tetapi juga dari kerangka besar kerja kementerian dalam menulis ulang sejarah nasional. Beberapa anggota DPR khawatir adanya upaya untuk merelatifkan atau mengaburkan fakta-fakta sejarah sensitif.

Dua dekade lebih telah berlalu sejak peristiwa Mei 1998, namun luka kolektif bangsa belum sepenuhnya sembuh. Ketika pejabat negara berbicara tentang masa lalu, sensitivitas bukan hanya penting — ia menjadi penentu arah rekonsiliasi atau justru sumber ketegangan baru.

Rapat Komisi X DPR RI hari itu menjadi pengingat bahwa sejarah bukan sekadar kumpulan data, tetapi juga cermin luka, ingatan, dan keberpihakan kepada kebenaran.

(***) 
 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak